Bukti Cinta Nabi SAW, UIY: Ikuti Pola Pikir dan Perilakunya

MediaUmat Terlepas dari kontroversi perayaan maulid Nabi SAW, bukti kecintaan umat Islam kepada sosok mulia tersebut harusnya tercermin pada pola pikir dan perilaku yang telah beliau ajarkan.

Hal ini ditekankan oleh Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) dalam Fokus: Memaknai Cinta Nabi di Masa Kini -Spesial Maulid Nabi SAW, Ahad (7/9/2025) d kanal YouTube UIY Official.

Dengan kata lain, sebut UIY, tanda pertama dan utama mencintai di sini adalah mengikuti dengan sungguh-sungguh (haqqul ittiba’) seluruh ajaran Nabi SAW baik dalam hal pola pikir dan perilaku beliau.

“Katakanlah, kalau engkau betul-betul cinta kepada Allah maka ikutilah aku [Nabi Muhammad SAW], ittiba’-lah kepadaku [Nabi Muhammad SAW],” kata UIY, mengutip kandungan QS Ali Imran: 31.

Konsep ini sangat penting. Sebab siapa pun yang tidak mengikuti cara ini, kata UIY menukil kitab Tafsir Ibnu Katsir, klaim cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dianggap dusta.

“Kata Imam Ibnu Katsir, kalau orang (mengaku) mencintai Nabi tapi tak mau ittiba’ kepada Nabi atau ittiba’ tapi tidak haqqul ittiba’, maka kata beliau, orang seperti ini dusta,” papar UIY.

Berlandaskan Islam

Lantas terkait unsur penting pertama berkenaan dengan haqqul ittiba’ yakni mengikuti cara berpikir Nabi SAW, adalah cara berpikir yang dilandaskan pada ajaran atau risalah Islam.

Pada dasarnya, perbuatan manusia bergantung pada pola pikirnya. Sebutlah tindak pidana korupsi, yang disebut juga kejahatan kerah putih karena yang melakukan bukan hanya mereka yang punya kekuasaan, tetapi juga orang pintar berpengetahuan luar biasa di sektor-sektor tempat mereka berada, timbul karena cara berpikir sebelumnya tidak sesuai dengan Islam.

“Korupsi itu apakah timbul dari cara berpikir yang benar? Enggak. Cara berpikir yang salah, cara berpikir yang tidak islami,” tandas UIY, yang berarti koruptor sebelum melakukan kejahatan terlebih dahulu memandang jabatan sebagai sarana untuk memperoleh kemuliaan, kekuasaan, dan kekayaan.

Dengan kata lain, tak sedikit dari umat Islam justru berpikir sekuler baik bercorak kapitalis maupun sosialis, bahkan komunis.

Di sinilah, jelas UIY, pentingnya kapabilitas seorang pemimpin. Sementara, Nabi SAW telah mengajarkan hal itu sebagaimana terdapat di dalam hadits riwayat Imam Muslim mengenai Sahabat Abu Dzar al-Ghifari meminta jabatan.

Konteksnya, Abu Dzar ketika itu bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang pengangkatan jabatan untuk dirinya. Namun Nabi SAW tidak mengabulkan permintaan tersebut, melainkan menasihati Abu Dzar bahwa jabatan adalah amanah besar yang berat dan dapat menjadi kehinaan dan penyesalan di hari kiamat, kecuali jika diambil dan ditunaikan dengan benar.

Namun demikian, alih-alih menganggap jabatan sebagai amanah, justru saat ini banyak pejabat publik yang semena-mena. Dampaknya, sambung UIY, kerusakan pun semakin besar dan tak terelakkan.

Berikutnya unsur penting kedua sebagai bukti cinta kepada Nabi SAW adalah mengikuti dengan sungguh-sungguh perilaku beliau, baik soal ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak, hingga muamalah yang di dalamnya terdapat sistem ekonomi, politik, sosial, budaya, dsb.

Maka patut dipertanyakan sikap Muslim yang bermuamalah dalam hal ekonomi, misalnya, tetapi tidak melepaskan diri dari riba. “Kalau ini hari ada orang yang bermuamalah dalam ekonomi, tak lagi memperhatikan hal-hal ekonomi, keuangan penuh dengan riba, dia ittiba’ kepada siapa?” lontarnya.

Pun dalam hal berpolitik. Sepanjang kehidupan Rasulullah SAW, dalam hal ini, ungkap UIY, tidak pernah dilakukan tidak atas dasar Islam, dan tidak untuk Islam.

Artinya, dengan memahami adanya relevansi antara cinta dan haqqul ittiba’ terhadap pola pikir dan perilaku Nabi SAW, maka sudah semestinya tidak ada kehidupan muslim di negeri ini, baik di level individu, keluarga, bermasyarakat terlebih bernegara yang keluar dari koridor ajaran Islam.

Artinya pula, keruwetan kehidupan bernegara yang timbul akhir-akhir ini, tak lain gegara cara berpolitik para pemimpin yang notabene muslim, tak lagi mengikuti ajaran Nabi SAW.

Karenanya, perayaan maulid harus jadi momentum pengingat umat tentang pentingnya haqqul ittiba’ kepada Nabi SAW. “Penting untuk apa? Mengingatkan tentang pentingnya tadi itu, ittiba’ itu,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: