Bukankah Fajar Itu Sudah Dekat?!
Oleh: Ustadz Hamid Abd al-Aziz
Sungguh, keadaan Umat Islam sejak didominasi oleh rezim kafir pasca dihancurkannya negara Khilafah tahun 1924, dan sejak nasib mereka berada di tangan orang-orang kafir, munafik dan murtad, mereka selalu berusaha membebaskan diri dari dominasi rezim kafir, dan supremasi tuan-tuan dan agen-agennya.
Terbukti, Umat Islam tak pernah satu hari-pun beristirahat dari perlawanan, justru mereka senantiasa dengan beribu cara mengusahakan kebangkitan dan mengembalikan kekuasaan mereka yang dirampas. Saat negeri-negeri mereka dijajah, Umat melawan pihak penjajah dengan segala cara, sampai-sampai Barat kehilangan akal, lalu terpaksa mengerahkan semua kekuatan militernya.
Namun sayangnya, Barat telah lebih dahulu melantik segelintir dari Umat Islam yang rela menggadaikan jiwanya untuk setan agar menjadi pelayan bagi maslahat-maslahat Barat di negeri-negeri kita.
Pasca suksesnya Barat menipu mayoritas Umat Islam dengan pemimpin-pemimpin palsu itu, dan setelah Barat berhasil mengopinikan bahwa mereka benar-benar telah membantu Umat menghilangkan penjajahan, dan mereka berhasil mengelilingi Umat, saat itulah Umat dibenturkan dengan realitas mereka yang terpuruk;
Kemiskinan, kebodohan dan penyakit yang meraja-lela, pemimpin-pemimpin palsu itu merampas rezeki dan mata pencaharian mereka. Umat sempurna menjadi mainan musuh-musuh mereka. Saat ini, barulah mereka tersadar bahwa pemimpin mereka tak lain hanyalah ekor-ekor Barat penjajah.
Maka sejak ini, Umat mulai gelisah. Tak lama berselang, terbitlah pergerakan di Tunisia, lalu diikuti oleh Mesir, Libya, Suriah, Yaman, dan Sudan. Akan tetapi setelah berhasil mengkudeta sebagian pemimpin mereka, mereka tak sadar bahwa pergantian sistem tidaklah cukup dengan mencopot pemimpinnya, namun harus diganti sistem tersebut secara keseluruhan, agar diganti dengan sistem dari desain akidah mereka.
Sejak meledaknya berbagai revolusi di negeri-negeri muslim, muncul juga gerakan yang kontra terhadap revolusi, yang menggunakan otoritas Barat dan sekutu-sekutunya di wilayah teluk, demi menunggangi revolusi tersebut, atau bahkan menghentikannya. Mereka mati-matian mengusahakan hegemoni barat dengan berbagai macam cara, lalu berhasil secara signifikan.
Terbukti, Barat berhasil mengembalikan keadaan seperti semula di Mesir. Ini dicapai setelah menampakkan “jahatnya” arus perjuangan Islam dan kegagalan Ikhwan di dalam pemerintahan dan kepemimpinan, demi menyapu banyak masa dari kubu Ikhwan. Saat kekalutan ini terjadi, Ikhwan beserta oposisi lainnya dilengserkan dan dihalau, lalu dibina kembali rezim Mubarok dengan variasi yang lebih menyeramkan (baca: rezim el-Sisi).
Di Tunisia, telah terjadi kondisi yang Barat impikan; gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang politis telah surut, mereka mulai masuk ke dalam Demokrasi secara total. Kendati berhasilnya kudeta yang dikepalai Kais Saied (presiden Tunisia saat ini) dengan menyebut-nyebut gerakannya sebagai aksi untuk memerangi korupsi. Padahal, hakikat dari gerakan ini adalah untuk melayani Barat, terutama Prancis. Gerakan ini dilancarkan tentunya untuk merotasi rezim, serta mengukuhkan hegemoni Prancis di region tersebut.
Di Suriah, para pejuang terpencar-pencar dengan revolusinya masing-masing, sehingga tak ada yang berhasil, rakyat Suriah berputus-asa akan terwujudnya perubahan.
Semua fenomena ini melanda mereka sebab tiadanya konsep dan program politik yang menjadi lawan untuk hegemoni Barat. Serta tak adanya pengganti untuk sistem yang memiliki kekuatan konkret di kancah perpolitikan dunia saat ini.
Semua kekurangan ini menjadi jelas wujudnya pasca kegagalan Ikhwan di Mesir, dan sejak kudeta di Tunisia tepatnya setiap kali prospek kebangkitan hakiki itu diangkat, serta tergambar pada solusi-solusi problem untuk kedua rakyat negara ini.
Dan pihak-pihak terdepan di kancah perpolitikan dunia juga tak memiliki gambaran yang jelas mengenai kebangkitan di negerinya. Sebagaimana mereka juga tak memiliki kuasa untuk merumuskan solusi riil demi permasalahan rakyat. Mereka tak lain hanyalah agen-agen yang sengaja ditugaskan untuk mengaplikasikan apa yang didikte oleh tuan-tuan mereka di Barat. Sebagai imbalan, mereka dikekalkan di kursi jabatan.
Memang benar, para opisisi itu mampu menghilangkan para diktator dan cukong-cukongnya yang menjadi mimpi buruk mereka, juga berhasil menyurutkan mafia-mafia yang merampas kekayaan mereka. Akan tetapi, kemenangan ini hanya berlangsung sesaat; kekuasaan di negeri-negeri revolusi ini tak pernah lepas dari genggaman Barat.
Buktinya, Barat masih berkuasa kendati Mubarok dilengserkan dari pemerintahan, dan kendati pelarian diri Ben Ali dan Ali Saleh di Tunisia dan Yaman, atau terbunuhnya Gaddafi di Libya. Kekuasaan itu tak berpindah tangan kendati basis militer berkuasa di Mesir, bahkan saat Dr. Mursi berkuasa, atau saat Sisi berhasil mengontrol setiap penjuru Mesir. Kekuasaan itu takkan berpindah tangan sekalipun gerakan kebangkitan yang berkuasa.
Barang siapa yang menyangka kekuasaan telah diambil-alih, hendaknya dia ber-muhasabah diri.
Hegemoni Barat masih tampak jelas di setiap sudut pemerintahan negara-negara revolusi ini. Barat membantu setiap revolusi yang kontra terhadap revolusi mereka. Upaya Barat untuk melantik diktator-diktator baru di bawah arahannya sangat kuat.
Apakah kita siap untuk mewujudkan figur yang memiliki kekuasaan mutlak? Apakah mungkin Umat dapat kembali diarahkan dengan “besi” dan “api”? Ataukah Umat sudah jinak dan rasa fobia dan ngeri telah menjalar di hati cucu-cucunya?
Salah satu filsuf Perancis, La Boétie pernah bertutur: “Kenistaan macam apa ini? Kita menyaksikan miliaran himpunan manusia bukan sekedar berlutut, namun menghamba? Bukan sekedar dikuasai, namun ditindas? Manusia-manusia malang ini tak punya hak apalagi keluarga, bahkan nyawa mereka bukan kepunyaan mereka. Mereka dirampas, dirampok dan dianiaya bukan dari serdadu asing – yang bernilai mulia saat mereka lawan dan halau –, namun dari seseorang saja, ia bukanlah Samson atau Hercules, bahkan ia sering kali seorang yang paling pengecut dan feminin di seantero negeri. Sang tiran ini bahkan tak perlu dilengserkan agar kalah, memilih berhenti untuk menaatinya saja sudah cukup. Hanya rakyat yang mampu melonggarkan dan melepaskan belenggu yang mengekangnya!”
Penulis bukan bermaksud bahwa Umat akan mengalami fenomena ini kembali, atau Umat dengan tulus hati akan rela dipimpin oleh seorang paling amoral dan pengecut. Meskipun secara kasat mata, Umat tampak puas setelah melimpahkan ribuan nyawa untuk perjuangan yang berbuah sedikit, namun hakikatnya Umat tak akan berpuas diri. Tak diragukan lagi, Umat ini tengah menghimpun kekuatannya, sembari menanti siapa yang akan memimpinnya dengan kepemimpinan yang tepat, dan manhaj yang benar. Dialah yang akan mewujudkan bersama Umat dan untuk Umat perubahan yang senantiasa digemakan.
Jika babak pertama dari revolusi ini telah terbukti membutuhkan kadar nyali dan daya juang yang besar – sebagaimana yang selama ini kita saksikan di berbagai perjuangan heroik Umat –, maka babak kedua dari perjuangan ini membutuhkan muhasabah-diri, kehati-hatian dalam berpandangan, kedalaman berpikir, luasnya cakrawala, serta perjuangan yang tak kenal lelah.
Telah terbukti bahwasanya perubahan yang hakiki tak akan terwujud hanya dengan menggonta-ganti kepala negara saja, namun perubahan itu bermula pada pemikiran dan kestabilan pemikiran dan perjuangan. Perjuangan ini akan berbuah dengan berlabuhnya agenda politik yang riil di dalam pemerintahan, bukan dengan mengangkat simbol-simbol dan meniru sistem kehidupan Barat yang tak mengakui Akidah Islam dan hadhoroh-nya. Perjuangan ini juga tak akan membuahkan hasil dengan melestarikan sistem yang ada, meski ditaburi sedikit “bedak” agar terlihat lebih elok.
Agenda politik yang diperjuangkan ini berfungsi untuk memformasikan Umat dan negara dengan formasi yang baru, yang akan memproduksi kehidupan baru dengan metode hidup yang baru; baru dari segi budaya, pemerintahan, ekonomi, sosial, edukasi, peradilan, informatika, dan politik luar-negeri. Formasi baru ini akan memutus segala hubungan dengan peradaban Barat yang mengintimidasi dunia lewat bara apinya, yang membakar dunia dengan api dan peperangan yang ia ciptakan, yang mencekik dunia lewat abu hitamnya, yang membusukkan dunia dengan kebusukannya, dunia terinjak dan menyeleweng sebab kesesatan sistem ekonominya.
Sungguh, hanya ada satu pilihan saja, tak ada yang lain; yaitu ideologi Islam. Ia mencakup akidah, syariat, pemikiran dan metode, serta pemaduan antara ruh dan materi sehingga menciptakan peradaban yang niscaya mendirikan sebuah kota yang terang benderang atas dasar kerohanian yang mendalam dan mengakar.
Sesungguhnya sebab mendasar dari berhasilnya pejuang-pejuang Islam di dalam merampas pemerintahan di negeri-negeri Arab, adalah kecintaan mereka terhadap Islam, dan respons baik mereka untuk setiap penyeru Islam – terlepas dari tingkat kesadaran Islam sang penyeru ini dan cita-citanya terhadap Islam –.
Hal ini selayaknya memotivasi pejuang-pejuang Islam yang telah berhasil mencapai pemerintahan, untuk menyadari bahwa perjuangan ini belum berakhir, namun ia baru saja dimulai untuk menguji sejauh mana kapabilitas mereka di dalam mengatur urusan Umat, dan kesungguhan mereka di dalam menerapkan Islam serta bertahan di dalam sikap ini.
Mereka tak akan berkompromi jika Islam hanya dijadikan sebagai “inspirasi” dan “referensi dominan” belaka. Mereka tak akan terlebih dahulu menyebarkan kalimat-kalimat semacam “kebebasan harus mengakar di masyarakat” sebelum membahas tentang penerapan Islam, atau berbicara tentang melestarikan kehidupan rakyat sebelum menyinggung sistem ekonomi Islam. Sungguh, argumentasi seperti ini tak lain hanyalah mengolok-olok hukum Allah; diawali dengan berputar-putar di sekitarnya (tanpa benar-benar berniat menerapkannya), lalu mengelak dari penerapannya.
Fenomena seperti inilah yang menginspirasi kalangan muslim yang ikhlas untuk berpaling dari kubu “pejuang-pejuang Islam” itu. Pasalnya, mereka-lah yang menyumbangkan suara demi pejuang-pejuang ini menang di pemilu, agar di tangan mereka-lah penerapan syariat terwujud.
Syariat inilah yang akan memanifestasikan makna “kebebasan” yang sepantasnya, yaitu tidak menjadi hamba untuk satu-pun makhluk kecuali untuk Allah saja. Syariat inilah yang akan memberikan keamanan dan keadilan, serta menjamin kemakmuran hidup, hanya dengannya saja kebangkitan akan tercapai.
Upaya “pejuang-pejuang Islam yang moderat” ini di dalam parlemen telah terbukti gagal. Kegagalan ini bukan karena Islam yang mereka terapkan, justru karena mereka yang tidak menerapkan Islam sama sekali! Dan janganlah sekali-kali mereka menyangka bahwa jalan perjuangan yang melenceng ini adalah satu-satunya jalan perjuangan Islam, namun ingatlah ancaman Allah;
Bahwasanya siapa-pun yang melenceng dari jalan-Nya yang lurus, dan dari ketundukan terhadap hukum-hukum-Nya, Allah tak akan memenangkan dan menolongnya.
Islam adalah agama yang haq dan risalahnya abadi. Islam wujud sebelum mereka diciptakan, dan akan senantiasa wujud setelah mereka tiada. Setiap usaha gagal mereka adalah hasil dari kemaksiatan dan penyelewengan mereka dari yang haq, dosa yang terhasil darinya hanya dipikul oleh pelakunya, bukan oleh Islam dan pejuang-pejuang mukhlis-nya.
Harapan untuk membalikkan keadaan berada di tangan pejuang-pejuang Islam yang mukhlis. Yaitu perjuangan untuk menggulingkan sistem-sistem kufur dan mengembalikan sistem Islam. Meskipun Amerika dan sekutu-sekutunya berusaha membelokkan Umat dari jalan perubahan yang benar, sesungguhnya Umat di masa kini tak akan goyah dengan kekuatan Barat. Makar-makar yang Barat rumuskan siang dan malam demi menghalangi Umat menggoyah takhtanya di negeri-negeri kita, pasti akan gagal.
Akan datang sebentar lagi suatu masa di mana kita keluar dari cengkeraman Amerika. Di masa itu, kekuasaan Umat yang dirampas akan kembali.
Maka, bukankah fajar itu sudah dekat?!
Sumber:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=670257727228628&id=168727927381613