Bukan Layani Rakyat, Parpol Saat Ini Malah Cari Keuntungan

Mediaumat.id – Anggota Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Riyan, M.Ag. memandang, keberadaan partai politik (parpol) yang beragam saat ini tidak digunakan sebagai alat melayani rakyat, tetapi lebih untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya.
“Partai itu bukan sebagai alat untuk melayani rakyat, tetapi adalah sebagai katakanlah media untuk kemudian mencari keuntungan,” ujarnya dalam Kabar Petang: Parpol di Indonesia Tidak Peka? di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (17/9/2022).
Sebelumnya, sebagaimana disebutkan, William Liddle, profesor emeritus dari Ohio State of University menyatakan, bahwa keberadaan partai politik di Indonesia sejauh ini belum banyak berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.
Tak hanya itu, Liddle juga memandang pola kepemimpinannya pun masih patronasi atau bertumpu pada figur tertentu sebagai pemimpin utamanya. “Yang paling penting bagi partai-politik, dan juga pemimpinnya adalah supaya ekonomi pribadinya maju, dipuaskan,” kata Liddle dalam bincang-bincang The Interview, di Jakarta, Ahad (14/8/2022)
Pasalnya, sambung Riyan, perpolitikan di Indonesia memang berjalan di atas sistem sekuler demokrasi tidak lagi sejalan dengan jargon dari, oleh dan untuk rakyat sebagaimana diusung selama ini, tetapi lebih kepada para pemilik modal.
“Artinya apa? Segelintir orang (kapitalis) itu kemudian membuat katakanlah partai politik itu dalam konteks sebuah perusahaan,” jelasnya.
Sebutlah keputusan pemerintah menaikkan harga BBM pada awal bulan ini. Ditambah rencana penghapusan daya listrik 450 volt ampere (VA) yang menurut Riyan, bakal menguntungkan para kapitalis namun makin menambah beban hidup masyarakat.
Padahal secara slogan, partai politik berkuasa saat ini mengaku sebagai partainya wong cilik. Namun faktanya, dalam konteks kesejahteraan rakyat, justru tidak membela kepentingan orang-orang ‘kecil’, walaupun disertai penyaluran BLT BBM sekalipun yang menurut Riyan bukan solusi sebenarnya.
Ia mengatakan, keputusan bersama antara pemerintah dan para anggota DPR terkait penaikan harga komoditas strategis tersebut selain menunjukkan pengkhianatan, juga merupakan kezaliman yang luar biasa terhadap rakyat.
“Jangan bicara tentang masalah public distrustatau social distrust. Justru yang terjadi itu adalah degradasi daripada kepercayaan publik semakin dalam,” ulasnya.
Oleh karena itu, ia mendorong agar rakyat terbuka kesadaran betapa selama ini mereka dijadikan legitimasi saja oleh partai-partai politik seperti itu.
Dengan kata lain, pernyataan William Liddle secara konteks politik kekinian, justru mengonfirmasi terjadinya pola pemiskinan atas rakyat. “Inilah saya kira dosa politik yang mereka lakukan hari-hari ini,” tandas Riyan.
Tidak Murah
Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum kalau perpolitikan yang dijalankan di Indonesia dibentuk dengan bermacam persyaratan yang tidak murah.
“Pertanyaannya _kan_ kita kemudian akan bertanya dari mana uang itu? Apakah murni keikhlasan daripada para pendiri?” bimbangnya.
Tegasnya, adalah para cukong yang menunjang jalannya perpolitikan. “Cukong-cukong inilah yang kemudian membiayai sampai salah seorang jadi, misalnya,” katanya, yang mengaku meminjam istilah dari Menkopolhukam Mahfud MD.
Makanya tak aneh, usai mendapatkan kursi kekuasaan, baik ekskutif maupun legislatif, prioritas utama mereka adalah mengembalikan modal politik sebelumnya.
“Dengan cara apa? Itulah yang kemudian disebut dengan korupsi kebijakan, selain korupsi anggaran,” bebernya.
Celakanya dalam rangka mengembalikan modal politik, kata Riyan, calon terpilih juga mencari keuntungan-keuntungan tambahan yang apabila tidak ketahuan aparat penegak hukum, KPK, misalnya, bakal digunakan lagi sebagai ongkos ‘investasi’ lima tahunan mereka.
Partai Politik dalam Islam
Secara Al-Qur’an, tepatnya surah Ali Imran: 104, lanjut Riyan, terdapat perintah Allah SWT agar senantiasa ada sekelompok orang yang melakukan dua hal berkenaan dengan aktivitas politik atau dengan makna lain segolongan orang dengan asas, haluan dan tujuan di bidang politik.
Pertama, menyeru kepada kebaikan dalam hal ini Islam. Kedua, melakukan amar makruf nahi mungkar. “Dalam konteks ini saya ingin mengatakan bahwa amar makruf nahi mungkar yang paling besar itu adalah kepada penguasa,” tuturnya.
Dua hal tersebut, sambungnya, seharusnya menjadi tugas besar partai politik. “Jadi poin pertama bahwa agar partai politik itu adalah memiliki kepedulian terhadap rakyat, dia harus kemudian eksis karena dorongan keimanan,” ucapnya.
Artinya, secara kolektif sebuah partai politik menjadi sebuah kelompok yang mendedikasikan karya juga amalnya hanya untuk kemaslahatan umat.
Atau setidaknya, selain untuk mendidik masyarakat, juga menjadikan kesadaran umat makin kokoh dengan Islam.
Namun menurutnya, semua baru bisa diwujudkan manakala secara bersamaan diterapkan sistem Islam yang memang mendukung itu. “Semua akan bisa manakala kemudian sistemnya itu adalah dengan konteks sistem yang Islam,” sebutnya.
Maksudnya, agar tak terbelenggu dalam pusaran korupsi, buntut dari biaya politik yang mahal misalnya, mendirikan partai politik harus diletakkan atas dasar Islam. “Partai politik itu harus diletakkan dalam sistem Islam, bukan sistem demokrasi yang korup,” pungkasnya.[] Zainul Krian