Bukan Hanya Disusupi, Peradilan Dikuasai Mafia Hukum Secara Sistemik

Mediaumat.info – Dua mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap dan Novel Baswedan, menegaskan sistem peradilan di Indonesia bukan hanya sedang disusupi melainkan telah dikuasai secara sistemik dan kolektif oleh mafia hukum. Penegasan itu mereka sampaikan dalam siniar Para Mafia Hakim Peradilan, Novel Sudah Curiga Sejak Tangani Perkara Kasus Penyiraman Air Keras..!!! yang tayang di kanal YouTube Novel Baswedan, Rabu (16/4/2025).

“Kasus mafia peradilan ini membuat hukum bisa dibeli, putusan bisa dibayar, bisa diskenariokan ingin apa dan yang pasti ada harganya,” tegas Novel membuka diskusi. Pernyataan ini menggambarkan betapa mafia hukum telah merasuki dan mengendalikan sistem peradilan, memanipulasi hasil dan proses hukum demi kepentingan tertentu.

Salah satu kasus yang mengemuka dalam diskusi ini adalah vonis lepas terhadap terdakwa perkara ekspor minyak sawit mentah (CPO), yang merugikan negara hingga Rp17 triliun. Dalam kasus ini, tiga hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar.

“Kerja keras jaksa dan penyidik sia-sia. Perbuatan terdakwa terbukti, tapi divonis lepas. Ini modus baru. Bukan bebas, tapi onslag. Mengamini perbuatan korupsi, tapi dianggap bukan pidana,” jelas Yudi.

Keterlibatan hakim dalam skandal ini menggambarkan bahwa mafia hukum bukan sekadar memanipulasi putusan, tetapi juga mengatur siapa yang menjadi hakim dalam suatu perkara. Novel, yang juga menjadi korban dari praktik mafia hukum, mengungkapkan pengalamannya sendiri.

“Saya korban. Tapi hakim itu enggak berempati, malah seakan enggak percaya saya disiram air keras. Vonisnya bilang pelaku enggak sengaja nyiram. Itu akrobat hukum!” ujar Novel.

Menurut Yudi, mafia hukum sudah beroperasi sistemik dan terstruktur. “Enggak ada pelaku yang coba-coba. Semua sudah paham peran masing-masing. Pengacara tahu hakim ini bisa disuap. Hakim tahu pengacara ini akan nyuap. Sudah ada meeting of mind. Ini mafia, bukan kebetulan,” tegasnya.

Kedua mantan penyidik KPK ini juga mengkritik pengawasan lembaga peradilan yang gagal mendeteksi atau menghentikan praktik mafia hukum ini.

“Kalau korupsinya dilakukan atasan dan bawahan bersama, pengawasan lumpuh. Semua bermain. Enggak ada satu pun majelis yang bersih dalam kasus ini. Kalau ada satu saja, pasti akan jadi pelapor,” terang Yudi.

Mafia hukum, kata mereka, tidak hanya memanipulasi hasil akhir, tetapi juga mengendalikan jalannya sidang dan mengatur siapa yang menjadi hakim dalam suatu perkara.

“Fakta-fakta yang mendukung penuntut sering disingkirkan dari pertimbangan hakim. Putusan bisa menyimpang dari kenyataan. Itulah bukti bahwa keadilan bisa dijual,” ujar Novel.

Dalam diskusi ini, Yudi juga menyoroti ketimpangan dalam sistem promosi di dunia kehakiman, hakim-hakim yang jujur justru disingkirkan, sementara hakim yang pandai “bermain” justru mendapatkan promosi cepat.

“Yang jujur ditempatkan di daerah terpencil. Yang main duit malah kariernya mulus. Dari Wakil Ketua PN Jakpus, bisa naik jadi Ketua PN Jaksel. Ini sistem sudah rusak,” ungkapnya.

Namun, keduanya menegaskan, pemberantasan mafia hukum tidak cukup hanya berhenti pada level pelaksana. Reformasi peradilan harus menyasar aktor-aktor intelektual yang berada di balik layar.

“Kalau enggak dibersihkan sekarang, ini akan terjadi lagi. Balon dipencet di sini, muncul di sana. Selama katupnya masih tertutup, mafia hukum akan terus hidup,” pungkas Yudi. [] Zainard

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: