Mediaumat.id – Membengkaknya biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dinilai sebagai dampak dari minimnya kajian dan analisis sebelumnya. “Karena sekali lagi, ini minim kajian, minim analisa,” ujar Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. kepada Mediaumat.id, Kamis (5/8/2022).
Menurutnya, beberapa analisis dalam hal ini pihak yang ditunjuk, Boston Consultants Group (BCG), misalnya, mengatakan bahwa proyek ini memang tidak visibel, terlalu mahal dan tidak layak.
Bahkan berdasarkan besaran anggaran proyek dari awal sampai siap digunakan kurang lebih Rp90 triliun atau sekitar USD6 miliar, kata Julian, faktanya terbukti kurang.
“Pada faktanya ini mambengkak menjadi sekitar USD7,9 miliar atau sekitar setara dengan Rp118 triliun,” jelasnya.
Celakanya, untuk menutup pembengkakan biaya yang menurutnya fantastis itu, rencananya ditanggung oleh APBN, sebagaimana pernyataan pemerintah melalui Kemenko bidang perekonomian yang mengaku telah mempertimbangkan permintaan Cina Development Bank (CBD) agar pembengkakan anggaran pembangunan KCJB dibantu oleh Indonesia.
Apalagi seperti diketahui pula, proyek KCJB menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo merestui penggunaan APBN dalam proyek tersebut.
Tak ayal, penggunaan APBN dikritik banyak pihak, termasuk Julian, karena dari awal Presiden menegaskan tidak akan menggunakan anggaran negara untuk proyek tersebut.
Penggunaan APBN juga dikhawatirkan tidak hanya berhenti sampai proses konstruksi tetapi akan terus berlanjut sampai operasional. “Kalaupun proyek ini sudah berjalan, kita khawatirkan subsidi ini akan terus berlangsung,” ujarnya.
Dengan kata lain, sangat ironis kalau akhirnya rakyat Indonesia yang harus menanggung beban itu, sementara yang menikmati proyek-proyek adalah kalangan masyarakat atas.
Irasional
Sebutlah hitung-hitungan break event point yang menurutnya juga irasional. “Apa yang diasumsikan pemerintah misalkan akan balik modal dengan waktu 40 tahun, menurut saya ini sangat-sangat tidak mungkinlah, sangat irasional,” ungkapnya, dengan menyampaikan asumsi harga tiket yang hanya bisa dijangkau orang-orang kaya.
“Prospek yang dilakukan oleh pemerintah dengan asumsi Rp300 sampai Rp400 ribu tiketnya itu, kemudian yang menggunakannya ini misalkan asumsinya full tiap keberangkatan, ini sangat mustahil menurut saya itu, sangat mustahil,” urainya menambahkan.
Malah, terangnya, menurut beberapa analisis para pengamat, break event point bisa sampai ratusan tahun.
Sehingga asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemerintah, menurut Julian, lebih tepatnya sebagai justifikasi saja. “Kita lihat saja nanti,” selanya, seraya menyampaikan analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang sebelumnya juga sangat terbatas.
Minim Multiplier Effect
Selain itu, dari dana yang sangat besar tersebut sangat minim memberikan multiplier effect (efek berganda).
“Mulai dari kelayakan perhitungan, kemudian buat desain, kontraktor sampai tenaga kerja, mulai dari teknisi yang top manajemen sampai misalkan tenaga kasarnya, ini kebanyakan dari Cina,” ungkapnya.
“Termasuk bahan-bahan mentahnya,” imbuhnya.
Menurut Julian, multiplier effect terhadap perekonomian masyarakat bisa terpenuhi andai pemerintah memiliki bargaining position atau nilai tawar yang kuat.
“Proyeknya dalam negeri, kenapa tidak menggunakan bahan baku dari Indonesia atau sebagian besar penyerapan tenaga kerjanya dari Indonesia, atau kajian-kajiannya lebih matang?” tanyanya.
“Seharusnya ini memberikan multiplier effect ekonomi yang sangat besar. Tetapi ini tidak terjadi,” ujarnya kembali menyayangkan.
Lantaran itu ia menduga kuat adanya kick back atau uang pelicin, seperti halnya beredar kabar ada yang menyebut sekitar satu persen. “Kalau misalkan satu persennya dari dana tersebut kan sekitar Rp900 millar, itu kan besar. Apalagi kalau dua persen,” nilainya.
Itulah mengapa Indonesia terkesan manut terhadap Negara Cina. Padahal, kata Julian, banyak wanprestasi berkaitan suatu negara yang bekerja sama dengan Cina dalam konteks proyek infrastruktur.
Ujung-ujungnya, seperti halnya beberapa negara yang kena jebakan utang luar negeri dari Cina, akhirnya secara politik ekonomi sebuah negara dimaksud tidak lagi berdaulat.
Bahkan menurutnya, ada yang harus mengganti mata uang berikut menjual infrastruktur yang sangat strategis sekalipun.
Maka itu, ia mengungkapkan kembali pentingnya bargaining position dari pemerintah, termasuk para pengamat untuk autokritik yang sifatnya konstruktif terhadap kebijakan-kebijakan semacam itu.[] Zainul Krian