Benarkan Rizal Ramli Terkait Perppu Ciptaker, FAKKTA Bilang Begini

Mediaumat.id – Membenarkan pernyataan tentang ‘daging lezat’ berupa perpanjangan otomatis konsesi-konsensi tambang selama 2 kali 10 tahun di dalam Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja yang dihidupkan kembali dengan Perppu, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak memaparkan begini. “Sejak awal Undang-Undang Omnibus Law dibuat untuk kepentingan oligarki,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Rabu (4/1/2023).

Sebelumnya, Ekonom Rizal Ramli menganalisis tentang kengototan pemerintah untuk segera menjalankan Omnibus Cipta Kerja melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022.

Menurut Rizal, langkah pemerintah tersebut sejatinya untuk kepentingan para pengusaha tambang.

“Kenapa ngotot banget menabrak konstitusi dan undang-undang? Karena salah satu bagian penting dalam Undang-Undang Omnibus adalah perpanjangan otomatis konsesi-konsensi tambang selama 2 kali 10 tahun! Itulah dagingnya,” kata Rizal Ramli dikutip pada Senin (2/1).

Sekadar diketahui, pemerintah mengklaim Perppu tersebut menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal Omnibus Law Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 lalu.

Dengan kata lain, amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pembentukan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’, otomatis gugur.

Namun terlepas itu, sambung Ishak lebih lanjut, jauh sebelumnya para oligarki memang memandang UU yang ada masih belum cukup akomodatif untuk mengakomodasi kepentingan mereka.

Alhasil, terwujudlah ketentuan kewajiban royalti hingga nol persen bagi perusahaan batu bara yang mambangun smelter di dalam negeri, hingga yang namanya jaminan perpanjangan otomatis konsesi-konsensi tambang selama 2 kali 10 tahun.

Ketentuan itu tercantum di Pasal 128 dan 129 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang disisipkan 1 pasal yakni Pasal 128A ayat (2) berbunyi: ‘Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).’

Bahkan celakanya, bagi pihak yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan dimaksud pun tak luput dari ancaman pidana kurungan sebagaimana ketentuan Pasal 162 UU Minerba yang telah diubah, sehingga berbunyi: ‘Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana 148 dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).’

Belum lagi di sektor kehutanan. “Undang-Undang Omnibus juga membuat para pengusaha lebih leluasa mengeruk hutan,” paparnya, seraya menyebutkan bahwa sebelumnya ada ketentuan di Pasal 18 ayat 2 UU Kehutanan tentang luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Dalam UU Cipta Kerja ayat itu berubah menjadi pemerintah pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau. Hal itu, ungkap Ishak, berarti, dengan penghapusan aturan ini, karena sudah direvisi di Omnibus Law, maka kawasan hutan dapat diterobos jika ada potensi tambang di kawasan itu.

Ditambah perizinan pembukaan hutan untuk pertambangan juga tak lagi membutuhkan izin DPR dan Pemerintah Daerah. Tetapi cukup oleh Pemerintah Pusat. “Pengusaha dapat lebih mudah mendapatkan izin lahan pertambangan,” tandasnya.

Cerminan Demokrasi

“Kehadiran Undang-Undang Omnibus ini menjadi cermin buruknya sistem demokrasi,” tegasnya. Sebab, UU dibuat sesuai keinginan pembuat ataupun pihak-pihak yang berkuasa atas mereka, yakni para oligarki yang mendanai kampanye atau partai mereka.

Apalagi, beber Ishak, sejumlah anggota DPR yang terlibat dalam penyusunan UU ini merupakan pengusaha tambang atau memiliki afiliasi dengan perusahaan tambang. Tak ayal, legislatif dan eksekutif pun berkolaborasi menggolkan kepentingan para oligarki meskipun merugikan rakyat banyak.

Solusi Islam

Ishak menerangkan, kondisi demikian berbeda dengan sistem Islam berikut di dalamnya sarat aturan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya.

Lebih jauh, betapa sistem Islam di bawah naungan institusi khilafah tidak memberikan peluang sedikitpun bagi manusia untuk memaksakan kepentingan mereka lewat pembuatan UU. “(Artinya) haram hukumnya membuat aturan yang tidak berdasar pada sumber hukum dalam Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: