MediaUmat.info – Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mempertanyakan benarkah klaim pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah berhasil menekan judi online (judol) hingga 80 persen, sehingga pada Mei 2025 hanya mencapai Rp 47 triliun yang sebelumnya Rp 90 triliun.
“Betulkah secepat itu putaran judi online dapat ditekan hingga 80 persen?” ujarnya kepada media-umat.info, Ahad (11/5/2025).
Iwan mengungkapkan, klaim pemerintah tersebut tentu harus dibandingkan dengan temuan sebelumnya.
Menurutnya, pada akhir April 2025 Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana justru melaporkan perputaran dana (judol) di Indonesia mencapai Rp 1.200 triliun. Angka tersebut meningkat dibandingkan sepanjang 2024 yang sebesar Rp 981 triliun.
Iwan berharap, judol dapat diberantas sampai ke akarnya. Namun bukan berarti nalar sehat jadi tumpul dengan dua data yang jauh berbeda tersebut.
“Publik butuh kerja nyata dan hasil nyata dari pemberantasan judi online. Jangan berhenti hanya pada penangkapan para pegawai Kominfodigi, tapi harus ditelusuri pada instansi lain terutama yang berkaitan dengan keamanan dan cyberspace. Semua oknum pegawai, pejabat atau aparat yang menjadi beking judi online harus ditangkap dan dijatuhi hukum seberat-beratnya,” tegasnya.
Berikutnya kata Iwan, pemberantasan judol juga harus melihat akar persoalan di masyarakat. Setidaknya ada dua persoalan terkait masalah itu.
Pertama, soal budaya. Iwan melihat, masyarakat menjadi pecandu judol karena sudah masuk dalam budaya hedonisme. Tidak mau kerja keras tapi ingin hasil berkelas. Maka judol jadi pilihan. Untuk itu harus ada edukasi yang sampai menyentuh akar budaya tersebut.
“Cuma ajaran Islam yang betul-betul bisa mengubah perilaku masyarakat untuk bisa meninggalkan budaya hedonisme dan judi online,” ucap Iwan.
Kedua, soal kemiskinan. Iwan menilai, kemiskinan ini harus diselesaikan. Menyelesaikan kemiskinan ini bukan dengan bansos, tapi dengan mengganti sistem ekonomi kapitalisme menuju ekonomi Islam. Data Bank Dunia menyebut ada 60 juta warga RI dalam kemiskinan.
Menurut Iwan, ini adalah kemiskinan struktural yang diciptakan kapitalisme. Ada soal penguasaan besar-besaran kekayaan negara pada segilintir orang, ada monopoli perekonomian, dan kebijakan yang tidak adil dari negara terhadap rakyat. Negara selalu berpihak pada oligarki, dan minim pada rakyat.
Padahal, jelas Iwan, kemiskinan jadi lahan subur perjudian, termasuk judol. Jadi, jangan harap judol ini bisa selesai kalau masyarakat masih dibelit kemiskinan. Dan judol itu adalah cara kaum kapitalis mengeksploitasi kekayaan orang banyak termasuk kaum miskin. Namun kemiskinan struktural ini tidak bisa selesai selama berlaku ekonomi kapitalisme.
Terakhir tutur Iwan, harus ada sanksi hukum berat untuk siapa saja yang terlibat judol. Terutama para pengusahanya. Laporan jurnalis Tempo menyebutkan ada nama sejumlah pengusaha dan politisi nasional yang terafiliasi bahkan jadi pemodal judol di Kamboja. Harusnya aparat menelusuri laporan ini.
“Jangan berhenti sebatas berita, tapi harus dikembangkan dan ditangkap. Kalau tidak, berarti memang tidak ada langkah yang betul-betul serius menangani judi online,” pungkas Iwan.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat