Batu Bara dan Sawit Jadi Bisnis Oligarki Terkuat Dalam Negeri

Mediaumat.id – Meski batu bara dan sawit kehilangan pasar di negara-negara Eropa dan sebagian dunia lainnya, namun dengan membebankan ke Pertamina kedua komoditi tersebut tetap menjadi bisnis oligarki paling kuat di dalam negeri.

“Tidak peduli lagi dunia mau ngomong apa. ‘Anjing menggonggong’, PLN dan Pertamina tetap berlalu. Batubara dan sawit tetap akan menjadi oligarki paling kuat di tanah air,” ujar Peneliti Senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng kepada Mediaumat.id, Sabtu (29/01/2022).

Karena, ungkap Daeng, sekarang sebagian masalah mereka telah berhasil dikirim atau dibebankan kepada Pertamina melalui gasifikasi batu bara dan solarisasi sawit, maka pasar batu bara dan sawit makin mantap.

Lebih lanjut, ia menerangkan, Pertamina dibebani dengan dipaksa membeli 10 juta ton minyak sawit untuk dicampur dengan solar dan juga diharuskan membeli puluhan juta ton batu bara.

Sedangkan terkait dengan hilangnya pasar di Eropa serta dimusuhinya kedua komoditi dari Indonesia tersebut oleh banyak negara sekarang ini, menurut Daeng, lantaran dipandang sebagai biang kerok kerusakan lingkungan, terutama sekali deforestasi atau penggundulan hutan.

Bahkan, tambahnya, komoditi sawit dan batu bara telah kehilangan pasar di Eropa, sejak diambilnya kesepakatan dari Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Inggris. “Ke depan sawit dan batu bara akan dihentikan sama sekali. Mungkin pasarnya tinggal Cina dan India,” ucapnya.

Berikutnya, kata Daeng, mereka (sawit dan batu bara), tidak boleh lagi mendapatkan dukungan/pembiayaan dari negara atau fiskal, bank, maupun lembaga keuangan internasional.

Namun demikian, ia menuturkan, Indonesia dalam hal ini pemerintahan Jokowi tampaknya akan mati-matian melawan agenda global G20 dan climate change (perubahan iklim) tersebut. “Ini memang kontradiksi, karena (bisa jadi) Jokowi adalah presiden G20 dan salah satu pimpinan COP26 Inggris,” sebutnya dengan menjelaskan hal itu bisa dilakukan setidaknya dengan tiga syarat.

Pertama, ekonomi Indonesia sepenuhnya bersandar pada pasar dalam negeri dan berhenti ekspor apapun termasuk batu bara dan sawit karena akan terkena tax carbon US250 per ton.

Kedua, ekonomi Indonesia bersandar pada keuangan dalam negeri dan tidak mengandalkan fasilitas utang yang dipromosikan melalui isu climate change, “Sementara uang ke depan hanya akan mengalir dari pendanaan climate change atau perubahan iklim,” imbuhnya.

Ketiga, APBN dan perusahaan BUMN mampu hidup dari bank-bank nasional dan tidak mengharapkan pembiayaan asing. Dengan kata lain, jelas Daeng, APBN dan BUMN akan berhenti berutang pada asing.

Demikian, apabila memang Jokowi serta para bandar batu bara dan sawit bisa melakukan ketiga hal dimaksud, maka bukan tidak mungkin kedua komoditi tersebut akan tetap jaya di dalam negeri Indonesia.

Memang, lanjutnya, Pertamina yang menjadi konsumen bahan bakar kotor akan susah mendapatkan fasilitas keuangan. Namun yang perlu diingat, perusahaan tersebut tampaknya akan bersandar pada keuangan pengusaha batu bara dan sawit, sebagaimana yang dilakukan PLN yang saat ini justru bersatu dengan bandar batu bara.

Maknanya, jelas Daeng, bank-bank nasional sama sekali tidak peduli dengan isu iklim atau COP26. “Bank bank nasional terutama bank BUMN masih bisa disedot dananya bagi eksploitasi energi primer batu bara dan sawit,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: