Bansos Salah Sasaran, PKAD: Ini Problem Sistemik

MediaUmat Ribuan pegawai BUMN, dokter, dan eksekutif berpenghasilan tinggi tercatat menerima bantuan sosial (bansos) dinilai Analis Politik Media Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Hanif Kristianto sebagai indikasi adanya masalah sistemik dalam pengelolaan negara.

“Hemat saya bahwa ketika melihat kondisi seperti ini, maka ini mengindikasikan problem yang sistemik,” ujarnya dalam Kabar Petang: Kebacut! Gaji Puluhan Juta Masih Terima Bansos? Ada 27 Ribu Pegawai BUMN, Dokter hingga Manajer? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (12/8/2025).

Menurutnya, ini tidak lagi bicara soal garis kemiskinan, tapi garis ketidakpuasan. Sebab, standar kelayakan yang semestinya itu didasarkan pada kebutuhan kini seolah bergeser ke siapa yang bisa mengakses sistem, bukan siapa yang paling membutuhkan.

“Ini sudah kacau kalau sudah seperti ini ya, dana-dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk memenuhi hasrat mereka (orang-orang serakah), atau jangan-jangan ini adalah sebuah sindikat ya dari permainan bansos di level yang lebih atas,” duganya.

Pasalnya, Hanif meyakini pemerintah memiliki perangkat (tools) untuk mendata rakyat yang benar-benar miskin sesuai standar dan layak menerima bansos. Namun, permasalahan ini akan terus berulang selama penguasa dan negeri ini tidak kembali kepada aturan dari Allah dan Rasul-Nya.

“Jangankan bansos ya. Lah wong perolehan suara di dalam pemilu saja juga bisa dimanipulasi kan begitu ya?” imbuhnya.

Ia menekankan, secanggih apa pun perangkat digital yang digunakan, tetap bergantung pada manusia yang mengendalikannya.

“Jadi ada individunya, juga ada sistemnya. Maka kalau mau sistem yang baik ya tentu itu harus sistem yang berbasis kepada akidah Islam, mereka (pelaksananya) menjadi penguasa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,” jelasnya.

Mengaburkan Esensi Bansos

Menurut Hanif, kondisi ini mengaburkan esensi bansos sebagai jaring pengaman bagi rakyat rentan, sekaligus menciptakan kesenjangan yang luar biasa di tengah masyarakat.

“Nah, alih-alih ini niatnya untuk menyejahterakan ataupun mengamankan ya, dan mengurangi kemiskinan secara sistemik, malah ini mengakumulasi kekayaan hanya kepada orang-orang tertentu saja,” sesalnya.

Terlibat Judol dan Tak Teridentifikasi

Ia juga menyoroti temuan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bahwa sebagian penerima bansos yang memiliki saldo rekening di atas Rp50 juta, bahkan puluhan ribu di antara mereka terlibat judi online (judol).

“Kalau ini bantuan sosial, harusnya untuk kebutuhan dasar, bukan modal usaha di meja judi atau platform trading berisiko tinggi. Lemahnya verifikasi dan nihilnya pengawasan membuat bansos kehilangan legitimasinya,” terangnya.

Lebih jauh, ia mengkritik, 1,7 juta data penerima bansos yang tidak teridentifikasi. “Ini ibarat undian berhadiah nasional tanpa tiket resmi. Masalahnya bukan human error, tapi kerapuhan struktural pada data terpadu kesejahteraan sosial,” ungkapnya.

Butuh Perubahan Mendasar

Hanif menekankan, butuh adanya perubahan mendasar untuk perbaikan.

“Selama penguasa negeri ini tidak mau kembali kepada syariat Islam, masalah ini akan terus berulang. Kalau mau sistem yang baik, harus berbasis akidah Islam, menjadikan kekuasaan sebagai ibadah, dan amanah karena pertanggungjawabannya dunia akhirat,” gugahnya.

Ia menegaskan, pola distribusi dalam sistem kapitalis sekuler saat ini mencampuradukkan antara hak dan keserakahan.

“Bansos telah bergeser menjadi alat pembagian sumber daya untuk siapa saja yang lolos daftar, terlepas dari kondisi ekonominya. Itu pengkhianatan terhadap tujuan dasar kebijakan sosial,” tandasnya.[] Muhar

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: