Baik Khilafah Ada atau Tidak, Jihad Tetap Wajib Dilaksanakan

MediaUmat – Menyoroti terkait pemahaman sebagian kaum Muslim yang menilai khilafah harus tegak terlebih dahulu agar bisa berjihad, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyatakan baik khilafah ada maupun tidak ada, jihad tetap wajib dilaksanakan.
“Baik khilafah ada maupun tidak ada, jihad tetap wajib dilaksanakan tanpa disyaratkan harus dipimpin oleh khalifah (imam) sebagai pemimpin tertinggi dalam negara khilafah,” ujarnya kepada media-umat.com, Senin (23/6/2025).
Karena menurutnya, kewajiban jihad dalam Islam, merupakan kewajiban yang mutlak dan tanpa syarat.
Imam Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) rahimahullah, jelas Kiai Shiddiq, telah menjelaskan hubungan jihad dan khilafah itu dengan sangat baik, dalam kitabnya Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah Juz II halaman 152 sebagai berikut:
“Jihad itu kefardhuan (kewajiban) yang bersifat mutlak, tidak terikat (muqayyad) dengan sesuatu, begitu juga tidak disyaratkan dengan sesuatu, jadi ayat mengenai jihad itu bersifat mutlak: Diwajibkan atas kamu berperang (QS al-Baqarah: 216). Jadi keberadaan khalifah tidak masuk ke dalam kewajiban jihad, bahkan jihad itu hukumnya fardhu baik ada khalifah bagi kaum Muslim maupun tidak ada khalifah.”
Singkatnya, sebut Kiai Shiddiq, jihad itu fardhu (wajib) hukumnya, baik ketika khalifah ada maupun ketika khalifah tidak ada.
“Maka pemahaman bahwa jihad untuk melawan Zionis Yahudi harus menunggu tegaknya khilafah lebih dulu, agar khalifah (imam) sebagai pemimpin khilafah itu dapat memimpin jihad, adalah pemahaman yang tidak benar,” tegasnya.
Mengambil dari penjelasan di para ulama, Kiai Shiddiq menyimpulkan, jihad merupakan kewajiban yang bersifat mutlak, yakni tidak mensyaratkan keberadaan atau eksistensi imam (khalifah) sebagai pemimpin negara khilafah.
“Hukum ini berlaku umum baik jihad yang dilancarkan itu berupa jihād hujūmī (jihad ofensif), yakni jihad yang diinisiasi atau dimulai oleh umat Islam maupun jihād difā’ī (jihad defensif), yakni jihad yang sifatnya bertahan dari serangan kaum kafir,” jelas Kiai Shiddiq mengutip Al-Jihād wa al-Qitāl fī As-Siyāsah al-Syar’iyyah, Juz I, hlm. 250-251 karya Muhammad Khair Haikal.
Pemahaman tersebut, tegas Kiai Shiddiq, berdasarkan nash-nash syariah dari Al-Qur`an dan sunah yang mewajibkan jihad yang bersifat mutlak, yakni tanpa mengkaitkan jihad itu dengan syarat tertentu berupa keharusan adanya imam (khalifah).
Hal ini, sebut Kiai Shiddiq, sesuai kaidah ushul fiqih yang berbunyi: “Lafazh yang mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak terdapat dalil yang menjadi taqyīd-nya (syarat/batasannya), baik taqyid berupa nash maupun berupa dalālah” (Mushthofa al-Zuhaili, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 378).
“Inilah pendapat yang hak (benar) yang wajib menjadi pegangan setiap Muslim khususnya para pengemban dakwah yang berjuang untuk menegakkan Islam secara _kāffah_ (menyeluruh),” jelasnya.
“Jangan sampai pemahaman mereka bengkok baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang akhirnya dapat membengkokkan metode (tharīqah) dakwah yang kita tempuh,” bebernya.
Khilafah Berhak Mengatur
Namun, ungkap Kiai Shiddiq, ketika suatu saat nanti khilafah tegak kembali, dalam waktu dekat ini, maka khalifah (imam) sebagai pemimpin tertinggi dalam negara khilafah, berhak untuk melakukan pengaturan (tadbīr/tanzhīm) dalam urusan jihad yang dilakukan oleh umat Islam.
“Umat Islam dalam kondisi demikian wajib menaati khalifah (imam) tersebut ketika khalifah mengatur dan mengoordinasikan jihad, agar jihad yang dilaksanakan menjadi tertib dan teratur, sehingga tidak terjadi benturan atau tumpang tindih (over lapping) di lapangan ketika jihad ini dilaksanakan oleh umat Islam,” bebernya mengutip kitab Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 152 karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani.[] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat