Bahasa Arab saat ini hampir diwarnai dengan warna dari negara-negara Arab yang berbeda, hingga ada negara Arab mengimpor buah plum dari negara Arab lain dan mengekspor aprikot ke sana! Beberapa dari mereka mulai menyusun leksikon (kamus) bahasa Arab dengan mode leksikon abjad asing (atau mereka sebut dengan alfabetis, yang dipengaruhi oleh alfabet asing), hal ini tentu berbeda dengan metode leksikografi bahasa Arab, yang mengandalkan akar kata untuk menjaga kesatuan keluarga verbal tunggal. Fenomena lain adalah penemuan huruf baru dalam bahasa Arab untuk menggambar suara dalam metabahasa yang dominan secara budaya, terutama Inggris dan Prancis. Tidak adanya suara-suara dan huruf-huruf aneh lainnya ini dalam bahasa Arab, ditemukan khususnya dalam Kamus Al-Munjid fī al-Lughah wa-al-Aʻlām, yang diterbitkan oleh Dar Al-Masyriq, Beirut (yang disusun oleh para Rabbi Yesuit). Apa dampak dari fenomena ini pada bahasa Arab?
Bahasa Arab begitu berharga bagi kaum Muslim, sebab merupakan bahasa Al-Qur’an Al-Karim, Al-Hadits An-Nabawi Al-Syarif, dan syair-syair pra-Islam—yang memiliki peran sangat penting dalam memahami kosakata dalil-dalil syariah—dan berbagai keilmuan Islam lainnya. Bahasa Arab adalah bahasa yang kaya, karena memiliki asas derivasi yang tak terbatas untuk sandaran dalam menciptakan kosa kata yang diperlukan ketika mengembangkan idiom dan kosa kata ilmiah, teknis, budaya dan peradaban baru. Bahasa Arab adalah bahasa yang luas yang membentang dari Teluk Arab hingga ke Samudra Atlantik. Selain itu, bahasa Arab juga dipakai di banyak negara Muslim selain bangsa Arab, dalam pendidikan dan komunikasi antara kelompok yang beragam bahasanya, di samping bahasa Arab merupakan bahasa resmi di banyak lembaga dan badan internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lainnya. Oleh karena itu, bahasa Arab menempati urutan ketiga secara global dalam hal penyebaran. Saat ini, berbagai indikator menunjukkan bahwa bahasa Arab akan menjadi bahasa pertama di dunia, sebab bahasa Arab memiliki keunikan di banding bahasa-bahasa lainnya, bahasa Arab bangunannya kokoh, dan memiliki institusi penyanggah yang kuat, sehingga inilah yang membuatnya siap secara alami untuk menjadi bahasa komunikasi bagi semua bidang. Namun, disintegrasi negara-negara Arab telah menghasilkan semacam kebingungan linguistik di beberapa tingkatan, yang mengganggu proses komunikasi.
Pada tataran bahasa nasional, penyebutan bahasa Arab sebagai bahasa Arab Standar (fushah) adalah sebuah tautologi yang difokuskan oleh para orientalis dan kaum alienasi untuk mengelabui orang-orang ke dalam keberadaan berbagai jenis bahasa Arab, seperti “bahasa Arab literal” atau “klasik”, “bahasa Arab modern” dan “bahasa Arab sederhana”, serta “bahasa Arab sehari-hari (‘amiyah)”. Tujuannya adalah untuk membingungkan mereka yang berbahasa Arab guna menjauhkannya dari dalil-dalil syariah yang tidak dapat dipahami dengan jelas kecuali dengan bahasa at-tanzīl (wahyu). Banyak orang berbahasa Arab jatuh ke dalam perangkap ini, baik yang membenci maupun yang mencintainya. Sehingga beberapa “bahasa Arab” yang tidak standar ini menjadi bahasa komunikasi, bahkan menjadi bahasa pengantar pendidikan, pengajaran, ceramah, dan tulisan di beberapa negara Arab. Seorang pemuda dari Kamerun menceritakan sebuah lelucon tentang hal ini bahwa seorang siswa yang dikirim dari negaranya hendak mendaftar di Universitas Al-Azhar. Dia mulai belajar setelah diterima dijurusan Syariah dan Hukum (!), namun dia segera kembali ke negaranya. Lalu, dia ditanya: “Mengapa kamu kembali begitu cepat?” Dia menjawab dengan penuh penyesalan: “Orang-orang tidak mengajar kami dengan bahasa Arab, tetapi dengan bahasa Fir’aun, yang saya tidak mengerti sama sekali!” Sungguh menakjubkan! Bagaimana degradasi pemikiran dan bahasa di Al-Azhar yang terhormat sampai sejauh itu?!
Tetapi bahasa Arab adalah satu, seperti yang kita tahu, bahkan jika para orientalis dan kaum alienasi membencinya sekalipun. Dahulu bahasa Arab hanya diemban oleh suatu budaya berupa syair-syair pra-Islam dan peribahasa Arab, sebelum Allah menjadikannya sebagai bahasa abadi dengan menurunkan wahyu berupa Al-Qur’an dan as-Sunnah: “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (TQS. Asy-Syu’ara [26] : 195). Dan Allah Swt. memastikan pelestariannya, sebab Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya..” (TQS. Al-Hijr [15] : 9). Kemudian, karya-karya dalam berbagai keilmuan Islam telah meningkat dan beragam hingga perpustakaan Arab menjadi salah satu perpustakaan terkaya, jika tidak dikatakan yang paling berpengaruh di dunia.
Adapun metode penyusunan leksikon (kamus) bahasa Arab, yang mirip dengan metode asing, maka itu aneh bagi bahasa Arab, yang mengandalkan pada akar kata sebagai substansi dari semua kata derivasi (turunannya). Sehingga metode ini mengarah pada penyebaran keluarga leksikal tunggal, yang menghambat proses pencarian bagi pengguna leksikon alfabetis, terutama jika mereka adalah mahasiswa ilmu bahasa Arab. Selain itu, metode ini, menurut sifatnya, meninggalkan banyak derivasi secara tidak sengaja, dan karena ketidakmampuan untuk menghitung, serta mengumpulkannya dengan metode ini. Dengan demikian metode ini tidak cocok untuk bahasa Arab, karena pada dasarnya metode tersebut dikembangkan untuk bahasa aglutinatif, seperti Inggris dan Prancis, bukan untuk bahasa inflektif.
Sungguh benar penyair Hafez Ibrahim ketika dia bersenandung dengan memuji orang yang berbicara dalam bahasa Dhād (Arab):
Saya melihat bangsa Barat memiliki kemuliaan dan kekuatan
(Namun) berapa banyak suatu kaum mulia sebab kemuliaan bahasaku
Akulah laut yang di dalam perutnya mutiara tersimpan
Apakah mereka bertanya kepada penyelam tentang cangkangku?
Adapun dari segi fonetik, diketahui bahwa huruf Arab hanya dua puluh delapan, dan itu bersifat tauqifi, baik secara lisan maupun secara grafis. Bahasa Arab memiliki metode khusus untuk menggambar suara asing (dari luar bahasa Arab). Bangsa Arab memperlakukan suara-suara dalam bahasa asing dengan menyesuaikan ke suara terdekat dalam bahasa mereka, jika mereka tidak memiliki padanannya. Mereka juga menyesuaikan kata-kata asing dengan wazan (pola dasar) bahasa Arab secara sama berdasarkan kaidah, “apa yang diukur (ditimbang) dengan ucapan Arab, maka itu bahasa Arab”. Mereka mengganti huruf (Ba’) dengan huruf asing (P), misal “Aurūbā, Europe (Eropa)” atau dengan huruf (V), misal “Balansah, Valencia”. Sementara (Ghain) dengan huruf (G), misal “al-Burtughāl, Portugal”, dan (Wawu) dengan huruf (V), misal “Munāwarah, manoeuvre (manuver). Dari kata ini, terbentuk kata-kata “nāwara, yunāwiru, munāwir” sebagai derivasinya, sehingga orang yang berbahasa Arab tidak merasa bahwa kata itu berasal dari kata asing, yaitu dari bahasa Prancis, dan seterusnya.
Namun, para ahli bahasa telah sepakat bahwa suatu bahasa, bahasa apa pun, memiliki potensi untuk diperkaya pada tingkat leksikon, yaitu kosakata, jika ada kata asing yang dapat disesuaikan dengan salah satu wazan (pola dasar) bahasa yang akan diberlakukan, tetapi hal itu berisiko jika dipengaruhi oleh tingkat yang lainnya, seperti fonetik, morfologi dan sintagmatik (struktur).
Meskipun demikian, para murid kaum orientalis dan para pengikutnya, di antara orang-orang Arab, mereka masih mengucapkan bunyi bahasa asing sebagaimana adanya dan menciptakan “huruf” baru untuknya dalam bahasa Arab, seolah-olah bunyi ini suci bagi mereka! Tindakan ini sengaja dilakukan oleh para orientalis dan pengikutnya untuk mencoba merusak bahasa Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya saw., dan semua jenis buku-buku dari berbagai keilmuan Islam. Namun hal tersebut tidak banyak diketahui oleh kaum Muslimin yang ikut-ikutan mereka, termasuk orang-orang Arab sendiri.
Fenomena-fenomena ini, dengan warna-warnanya yang berbeda-beda, dari awal harus ditolak karena melanggar aturan bahasa Arab, oleh karena itu perlu dilawan untuk melindungi dan melestarikan bahasa Arab.
Bahasa Arab memiliki ciri-ciri yang tidak ada dalam bahasa lain, bahwa bahasa Arab memiliki kemampuan khusus untuk mempengaruhi, memperluas, dan menyebarluaskan. Sebab bahasa Arab Itu indah, mudah diucapkan, dan didasarkan pada derivasi tanpa batas dalam memperluas kosakata untuk mengakomodasi istilah ilmiah, teknis, budaya, dan peradaban baru. Bahasa nasional telah menggantikannya dalam banyak kata-katanya, sehingga menjadi rentan untuk merusak kosakatanya dalam pengaturan leksikon, dan untuk merusak huruf-hurufnya, seperti halnya umat Islam dalam bagian-bagian anggota tubuhnya. Jadi, tidak mengherankan, karena bahasa Arab adalah wadah Islam, dan sekarang seperti sebuah umat, yang membutuhkan seseorang untuk menyatukannya, melestarikannya, serta mengembalikan kehormatan dan kemuliaan yang abadi baginya. Dan tidak ada cara untuk melakukan itu semua tanpa kembalinya kekuasaan Islam. Lalu, siapa yang memiliki ini dan itu tanpa kekuasaan Islam, sebab hanya kekuasaan Islam saja yang mampu menyatukan potensi bahasa Arab yang terpendam dalam bahasa dengan potensi Islam yang melekat pada akidah dan sistem kehidupannya?! [Sayed al-Shinqiti]
Sumber: Al-Waie (Arab), Edisi 431, Tahun ke-37, Dzulhijjah 1443 H./Juli 2022 M.