Mediaumat.news – Pernyataan Duta Besar Republik Indonesia di Ankara, Muhammad Iqbal dalam sebuah acara virtual (15/10), yang mengatakan Indonesia berencana mengganti nama salah satu jalan di daerah Menteng, Jakarta Pusat, dengan nama tokoh sekuler Turki, Mustafa Kemal Ataturk, dinilai sebagai bagian dari simbolik sekularisme.
“Ini bagian dari komunikasi publik simbolik yang sedang dimainkan pemerintah Indonesia. Ataturk adalah simbol sekularisme negara di Turki,” ujar Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara kepada Mediaumat.id, Selasa (19/10/2021).
Maka, sambung Fika, dengan menjadikannya nama jalan di Indonesia, negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, jelas semakin menunjukkan komitmen dan apresiasi terhadap warna ideologi Kemal Ataturk, yakni sekularisme dan nasionalisme.
Deislamisasi
Sudah menjadi rahasia umum, beber Fika, Ataturk adalah tokoh yang menghancurkan institusi Khilafah Islam terakhir yang pernah dimiliki umat. Seluruh garis kebijakannya memiliki warna deislamisasi di bawah slogan kemajuan modernisasi sebagai pembenar.
“Tak heran, eksistensi Ataturk di Turki tidak lebih adalah hasil rekayasa intelijen Inggris yang membuatnya memainkan peran sebagai agen Inggris yang loyal untuk meruntuhkan Khilafah di bawah bendera proyek sekularisasi dan modernisasi Turki,” paparnya.
Bahkan, lanjut Fika, diketahui juga pada tahun-tahun tersebut, di saat gelombang euforia tentang ide kemerdekaan nasional yang sangat kental dengan sekularismenya sedang mewabah di dunia Islam, Ataturk, yang juga seorang perwira militer memanfaatkan dengan tangan besinya mengganti syariah Islam sebagai konstitusi Turki dengan kode hukum Eropa yang jelas sekuler.
“Tidak berhenti di situ, Ataturk juga melarang pelajaran agama, melarang azan dalam bahasa Arab, mengubah Masjid Hagia Sophia menjadi museum, bahkan melarang hijab di sekolah dan kantor-kantor,” ungkapnya.
Sehingga, terhadap rencana penamaan jalan menggunakan nama tokoh sekuler tersebut, Fika juga memandang lebih sebagai upaya rezim menuju ke arah glorifikasi sekularisme dengan mengakui serta menunjukkan komitmen perjuangan yang sama dengan Ataturk.
“Sekaligus ini akan mempertegas bahwa pihak yang memperjuangkan nama Ataturk ini tidak akan pernah berpihak pada umat Islam apalagi berkomitmen menjaga ajarannya dari virus-virus sekularisme,” tambahnya.
Maka, sarannya, alangkah lebih layak apabila rencana penamaan jalan tersebut menggunakan nama Muhammad al-Fatih atau Sultan Abdul Hamid yang merupakan tokoh dengan simbol identitas dan keberpihakan pada umat Islam. “Track record-nya jelas berjuang demi Islam, bukan demi melayani penjajah asing seperti Kemal Ataturk,” pungkasnya.[] Zainul Krian