MediaUmat – Di tengah kelesuan perekonomian Indonesia, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyampaikan, Islam datang menawarkan perspektif alternatif yang lebih menyeluruh.
“Di titik inilah Islam menawarkan perspektif alternatif yang lebih menyeluruh,” tulis HILMI dalam siaran pers Intellectual Opinion No. 017: Mengatasi Kelesuan Ekonomi, Tinjauan Kritis dan Perspektif Islam, yang diterima media-umat.com, Kamis (18/9/2025).
Menurut HILMI, faktor persoalan implementasi kebijakan ekonomi yang sering kali terjebak pada pendekatan tambal sulam, diwarnai kepentingan politik jangka pendek, serta tetap berpijak pada paradigma kapitalistik yang rapuh, tidak bisa dilihat dari aspek teknis fiskal–moneter saja, tetapi juga dari kerusakan pada tiga pilar fundamental.
Pertama, pilar kepercayaan yang berarti ekonomi tidak akan hidup tanpa kejujuran dan amanah. “Korupsi, praktik rente, dan kebijakan yang inkonsisten membuat masyarakat enggan berinvestasi dan menahan konsumsi,” singgungnya, terkait kondisi yang justru sudah menjadi rahasia umum terjadi saat ini.
Maka, Islam menekankan kejujuran dalam muamalah, larangan riba, ketidakjelasan (gharar), dan maisir (spekulasi). Terlebih, pasar dalam Islam harus diawasi melalui mekanisme hisbah, yaitu konsep pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan masyarakat menjalankan perintah Allah SWT dengan baik, agar harga wajar dan tidak ada penipuan.
Dengan demikian, kepercayaan (trust) yang runtuh dalam sistem kapitalisme bisa dipulihkan melalui penerapan prinsip-prinsip Islam.
Kedua, pilar produktivitas yang juga kerap rusak dikarenakan paradoks penerapan kapitalisme. Sebutlah PHK massal di satu sisi, sementara banyak potensi tenaga kerja dan sumber daya ‘terbengkalai’ di sisi lain.
Karenanya, Islam mendorong produktivitas baik melalui distribusi zakat yang bersifat produktif, wakaf untuk pendidikan dan kesehatan, maupun pembagian tanah (iqtha’) kepada petani agar lahan tidak menganggur.
Prinsip kerja ini, bukan sekadar untuk mencari nafkah tetapi juga ibadah. “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan berkualitas),” ucap HILMI mengutip HR Thabrani, seraya menegaskan kembali produktivitas dimaksud bukan sekadar faktor ekonomi tetapi juga nilai moral dan spiritual.
Ketiga, pilar struktur ekonomi dalam hal ini menyangkut sumber daya alam yang seharusnya masuk dalam kategori kepemilikan umum, kemudian dikelola negara dan hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, malah diserahkan kepada korporasi asing.
Untuk dipahami, perspektif alternatif ini disampaikan sendiri oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad, yang artinya, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (energi).”
Pun Islam menolak sirkulasi harta yang hanya berputar di kalangan kaya, sebagaimana peringatan Allah SWT dalam QS Al-Hasyr [59]: 7, yang artinya ‘Distribusi harta diwujudkan melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, serta mekanisme syirkah (mudharabah, musyarakah)’.
Belum lagi dari perspektif kebijakan dalam hal ini reformasi jangka panjang yang mencakup pembangunan sistem keuangan syariah penuh, penguatan Baitul Mal sebagai institusi keuangan negara, reformasi pendidikan berbasis iptek dan iman, serta diversifikasi ekonomi yang tidak bergantung pada komoditas mentah.
“Semua ini (untuk) memastikan perputaran ekonomi yang sehat, mengurangi kesenjangan, sekaligus menumbuhkan solidaritas sosial,” tandasnya.
Indikator Semu
Sebelumnya, HILMI menegaskan indikator pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selama ini diagung-agungkan ternyata semu. “Indikator pertumbuhan ekonomi yang selama ini diagung-agungkan ternyata semu,” sebutnya.
Adalah pertumbuhan ekonomi stagnan di angka sekitar 5,12 persen yang tampak jauh dari target ambisius pemerintah yang menargetkan 8 persen. Sementara pemerintah justru menyalurkan Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke Himbara yang dinilai tidak menyentuh akar persoalan ekonomi.
“Dana besar yang disalurkan lewat perbankan bisa saja hanya menjadi simpanan baru, bahkan rawan tersedot ke sektor spekulatif. Pada titik ini, kebijakan fiskal–moneter terlihat lebih bersifat kosmetik daripada substansial,” ujar HILMI, yang berarti masyarakat luaslah yang bakal tetap merasakan langsung dampak dari daya beli melemah, nilai rupiah tertekan, dan lesunya konsumsi rumah tangga.
Ditambah gelombang PHK massal di sektor manufaktur dan digital sehingga jutaan tenaga kerja kehilangan sumber penghidupan. Bank Dunia mencatat 9 juta orang turun kelas dari menengah ke rentan miskin, dan secara keseluruhan 60,3 persen rakyat Indonesia masuk kategori miskin atau rentan miskin.
Pada saat yang sama, beban utang negara terus menggunung. Dilansir tempo.co.id (28/9/2024), misalnya, Laporan Kinerja APBN yang dikeluarkan Kementerian Keuangan pada akhir September 2024 mencatat utang pemerintah telah menembus Rp8.641 triliun.
Kendati begitu, di tahun 2025 pemerintah berencana menambah utang Rp775 triliun. Padahal, di tahun yang sama negara harus mengembalikan Rp800 triliun pokok utang dan Rp500 triliun bunga.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat