AS Gunakan Sistem Hukum untuk Targetkan Aktivis dan Imigran

 AS Gunakan Sistem Hukum untuk Targetkan Aktivis dan Imigran

Pemerintah Amerika Serikat disebut telah memanipulasi sistem hukum guna menargetkan aktivis Palestina dan komunitas imigran, termasuk mereka yang memiliki status legal, menurut laporan dan analisis terbaru yang beredar di kalangan pengamat kebijakan imigrasi.

Kebijakan kontroversial tersebut mendapat sorotan tajam menyusul diterapkannya Undang-Undang Musuh Asing tahun 1798 oleh pemerintahan mantan Presiden Donald Trump. Undang-undang ini memberikan kewenangan luas kepada presiden untuk menahan dan mendeportasi warga negara asing yang dianggap sebagai ancaman selama masa perang atau krisis nasional.

Meski awalnya ditujukan untuk menindak imigran ilegal, kebijakan ini disebut juga menyasar pemegang visa, pemegang green card, bahkan mereka yang menikah dengan warga negara AS. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa sistem hukum digunakan untuk mempercepat proses deportasi tanpa melalui proses peradilan yang wajar.

“Trump secara terbuka menyatakan bahwa imigran tanpa status hukum permanen tidak berhak mendapatkan pengadilan sebelum dideportasi,” ungkap salah satu sumber laporan.

Praktik “forum shopping” juga menjadi perhatian. Pemerintah disebut sengaja memindahkan kasus-kasus imigrasi ke pengadilan konservatif di negara bagian seperti Texas, Louisiana, dan Mississippi. Di wilayah ini, mayoritas pusat penahanan imigrasi berada dan tingkat keberhasilan permohonan suaka sangat rendah.

Menurut Human Rights Watch, kondisi di beberapa pusat penahanan imigrasi disebut memprihatinkan, bahkan menyerupai “lubang hitam hukum.” Tahanan, termasuk anak-anak, dilaporkan mengalami kekurangan gizi, penganiayaan, serta penahanan di sel isolasi.

Selain itu, AS disebut telah membuat kesepakatan deportasi dengan sejumlah negara seperti Brasil, Kolombia, Meksiko, India, hingga El Salvador. Namun kondisi fasilitas di negara-negara tersebut menuai kritik tajam dari lembaga hak asasi manusia internasional.

Analis mengingatkan bahwa kebijakan imigrasi ini dapat menjadi preseden berbahaya. Mereka menyoroti bahwa status kewarganegaraan sekalipun tidak menjamin perlindungan ketika pemerintah menggunakan hukum sebagai alat politik.

“Begitu segmen masyarakat dilabeli sebagai ancaman, hukum bisa diabaikan. Rasa bersalah atau tidak bersalah menjadi tidak relevan,” ujar seorang pengamat kebijakan AS.

Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan citra sistem hukum AS yang selama ini diklaim adil dan melindungi warga. Kritik juga muncul dari komunitas Muslim internasional, yang mengingatkan agar tidak menaruh kepercayaan buta terhadap sistem yang sewaktu-waktu bisa digunakan melawan warga sipil.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Fatima Musab, anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir, yang menyoroti dampak kebijakan imigrasi AS terhadap warga Muslim dan aktivis pro-Palestina di negara tersebut.

Sumber utama : hizb-ut-tahrir.info

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *