MediaUmat – Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menilai aparat penegak hukum (APH) Indonesia masih distempeli dengan pelaksanaan yang dibilang ‘tajam ke bawah, tumpul ke atas’.
“Iya. Jadi kalau kita lihat hari ini APH kita, aparat penegak hukum kita itu masih distempeli dengan pelaksanaan yang dibilang ‘tajam ke bawah, tumpul ke atas,’ ganas atau cepat kepada lawan-lawan, tetapi dengan teman sendiri dia tidak tegas,” ulasnya dalam Kabar Petang: Jaksa dan Polisi Janganlah Kriminalisasi Rakyat, Rabu (29/10/2025) di kanal YouTube Khilafah News.
Artinya, jelasnya, kalau yang berpersoalan itu teman sendiri akan jadi sulit. Artian tumpul kepada kawan sendiri tapi tajam kepada lawan-lawan.
“Hukum tidak tegak jika ada teman sendiri sebagai aparat yang melanggar, apalagi lawan kasus aparat hukum tersebut adalah rakyat biasa, tentu kasusnya hilang,” kritiknya.
Misalnya, sebut Wahyudi, kasus kriminalisasi. “Ada pemukulan terhadap mahasiswa, itu bisa hilang atau tidak jalan terus,” ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, hal ini juga terjadi dengan praktik di politik juga.
Jadi, tegasnya, justru para penegak hukum saat ini, terseret-seret ke persoalan politik.
“Kalau kita lihat dia jadi dekat dengan kekuasaan, dia juga tumpul kepada penguasa tapi tajam kepada rakyat,” cetusnya.
Sulit
Tentu, sambungnya, rakyat sulit mencari teladan pada APH.
“Bagaimana teladan itu bisa nampak? Kalau kita lihat justru tidak ada oknum yang bisa memberikan teladan itu. Apalagi kalau kita bilang harus semuanya memberikan teladan. Oknumnya saja dijadikan teladan sulit,” tandasnya.
Kalau dulu, imbuhnya, ada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Hoegeng Iman Santoso yang bisa menjadi teladan.
“Anaknya sendiri mau menerima hadiah itu tidak boleh. Jadi hidupnya juga sangat bersahaja, sangat sederhana dan bahkan sampai pensiun pun beliau hidup dalam kesederhanaan,” bebernya.
Nah, sambungnya kembali, kalau melihat sampai hari ini, mungkin tidak ada polisi seperti Hoegeng.
Makanya, tegasnya, ada adagium yang mengatakan polisi baik itu “hanya Hoegeng” dan “polisi tidur” atau “patung polisi”.
“Ini menunjukkan bahwa memang aparat penegak hukum kita sulit dijadikan teladan untuk menegakkan hukum apalagi teladan di tengah-tengah masyarakat. Kemudian, untuk melakukan praktik-praktik yang lebih baik dalam proses keadilan maupun melakukan kezaliman,” ungkapnya.
APH Kehilangan Hati Nurani
Apalagi, ulasnya, rakyat bisa melihat APH sudah kehilangan hati nurani.
“Berani sekali dengan rakyat kecil dan tega. Kita bisa melihat kasus-kasus yang terjadi, seperti pada aksi lalu, ojol yang terjatuh kemudian dilindas oleh rantis. Semestinya sudah berhenti dan bisa dihindari tetapi justru dilindas. Ini menunjukkan bahwa hati nurani sudah hilang,” kritiknya.
Ia berharap, agar hal ini bisa menjadi catatan serius untuk memperbaiki bagaimana pemerintah ke depan menciptakan aparat pegak hukum yang bisa jadi teladan. Walaupun mungkin sekadar oknum tetapi minimal ada.[] Novita Ratnasari
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat