Anggaran Mobil Dinas Naik, Paradoks Moral dan Kebijakan

 Anggaran Mobil Dinas Naik, Paradoks Moral dan Kebijakan

MediaUmat Kenaikan anggaran mobil dinas eselon satu hingga per unitnya nyaris Rp 1 miliar, dinilai Direktur The Economics Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo sebagai paradoks moral dan kebijakan.

“Ya memang, ini ada paradoks moral dan kebijakan,” tuturnya dalam Kabar Petang: Anggaran Mobil Dinas Eselon 1 Naik Nyaris Rp 1 Miliar, Seberapa Pantaskah? di kanal YouTube Khilafah News, Senin (9/6/2025).

Pasalnya, jelas Yuana, saat anggaran mobil dinas itu naik ratusan juta rupiah per unit, dalam waktu bersamaan bantuan sosial untuk rakyat miskin itu masih harus diseleksi ketat dan dibatasi.

“Coba bayangkan, mobil dinas untuk tahun 2026 naik menjadi Rp 931.648.000 juta per unit. Itu jika ada 100 unit saja itu artinya hampir 100 miliar ya. Itu hanya untuk kendaraan. Padahal untuk bansos pangan, seperti beras, minyak, telur itu banyak penerima yang harus disaring lewat data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dengan alasan anggaran terbatas tadi. Bahkan misal program seperti BLT El Nino ya, bantuan pangan nontunai sering tertunda karena realokasi anggaran,” ulasnya.

Secara etika publik, kata Yuana, ketika pemerintah mengatakan anggaran terbatas untuk bansos, tapi justru menggelontorkan ratusan miliar untuk kenyamanan pejabat, tentu bukan sekadar persoalan teknis anggaran, melainkan memang krisis moral.

“Ini pasti ada yang salah, kerangka berpikir itu ada yang eror,” paparnya.

Menurut Yuana, kondisi ini merupakan cermin dari ketimpangan moral yang ada di negeri ini.

“Ini memberi kesan, bahwa negara lebih cepat merespons kebutuhan pejabat dibandingkan kebutuhan rakyat,” kritiknya.

Belum dari sudut efisiensi anggaran, yang selama ini menjadi program prioritas anggaran negara. “Nah, mobil dinas seharga nyaris satu miliar itu, jelas sekali tidak menunjukkan efisiensi sama sekali, bahkan bukan kebutuhan produktif langsung,” bebernya.

Ia menyayangkan, harga ini tidak mencerminkan kesederhanaan birokrasi, padahal dengan dana tersebut pemerintah bisa mendistribusikan beras gratis untuk ribuan keluarga selama beberapa bulan, dan bisa membangun atau memperbaiki fasilitas-fasilitas publik.

“Misal mensubsidi UMKM atau sektor produktif yang justru menciptakan lapangan kerja. Jadi memang aneh pemerintah ini, apakah harus semahal itu? Gitu loh,” tanyanya retoris.

Ia berharap, kebijakan ini perlu dikritisi secara serius.

“Pada saat yang sama, banyak rakyat yang masih kesulitan membeli beras, kemudian mengalami inflasi bahan pangan, ketimpangan ekonomi yang tetap tinggi, termasuk pencari kerja yang pingsan di job fair,” ujarnya.

“Dalam satu waktu, sebagian besar rakyat masih bergelut dengan kebutuhan pangannya, kebutuhan pendidikan, dan kesehatan,” imbuhnya.

Paradoks Kebijakan

Menurut Yuana, paradoks kebijakan juga terlihat jelas dalam kasus ini.

“Saat rakyat minta bantuan, mohon maaf anggaran terbatas. Tapi saat pejabat minta mobil baru, ini kebutuhan operasional. Ini harus dilaksanakan,” tegasnya.

Menurutnya, kondisi ini jelas sekali dipengaruhi oleh model pembangunan kapitalisme. Pembangunan, yang berujung pada ketimpangan kebijakan.

“Jadi keterbatasan anggaran untuk subsidi itu hanya retorika saja ya,” cetusnya.

Yuana berpendapat, harusnya kenyamanan pejabat itu, tidak boleh lebih didahulukan dibandingkan kebutuhan dasar rakyat.

Jadi, tegas Yuana, negara harusnya menunjukkan empati anggaran. Bukan hanya empati dalam arti narasi saja, tapi betul-betul bijaksana. Artinya, simbol moralitas negara dalam hal ini, pemerintah itu ada pada cara ia menyusun prioritas anggaran itu.

“Dengan kata lain sebetulnya jika rakyat susah beli beras, pejabat itu tidak layak beli mobil mewah pakai uang rakyat,” pungkasnya.[] Novita Ratnasari

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *