Tanggung Jawab Prabowo Tak Hapus Masalah Awal KCJB
MediaUmat – Pernyataan sikap Presiden Prabowo yang bakal mengambil tanggung jawab atas masalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh dinilai tidak tepat karena tidak dapat menghapus masalah kepentingan maupun pendanaan sejak awal awal proyek. Hal itu dinyatakan Pengamat Ekonomi Dr. Arim Nasim kepada media-umat.com, Ahad (9/11/2025).
“Masalahnya, proyek tersebut sejak awal bermasalah, baik dari sisi kepentingan maupun dari sisi pendanaan,” ujarnya.
Artinya, tanggung jawab atas persoalan yang membelit termasuk kewajiban pembayaran utang ratusan triliun rupiah yang timbul dari proyek ini, menjadi tepat jikalau proyek tersebut memang tidak bermasalah sejak awal pelaksanaan.
Namun jauh panggang dari api, sambungnya, dilihat dari sisi kepentingan saja seperti untuk mengurangi kerugian ekonomi akibat kemacetan maupun memindahkan masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi massal, menurut Arim, sejak awal sudah ditentang oleh publik.
Sebutlah Ignasius Jonan, yang ketika itu menjabat menteri perhubungan, menolak dengan menyodorkan solusi berbiaya lebih murah daripada kereta cepat, yakni double track yang pada dasarnya juga bisa mempercepat dan menghindari kemacetan transportasi Jakarta-Bandung.
Namun alih-alih menyetujui, jabatan menteri perhubungan yang diemban Jonan tak berlangsung lama. Ia diberhentikan dari jabatannya setelah 2,5 tahun memimpin Kemenhub.
Kepentingan Oligarki Kapitalis
Karenanya, kata Arim menganalisis, kepentingan dari proyek kereta cepat tersebut bukan sekadar itu. Tetapi salah satunya lebih kepada kepentingan kaum oligarki kapitalis. “Jelas proyek kereta cepat bukan proyek untuk kepentingan rakyat, tapi kepentingan keserakahan ologarki kapitalis,” tandasnya.
Dilansir kcic.co.id (21/11/2019) misalnya, Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna, Direktur Utama PTPN VIII Wahyu, Direktur Utama WIKA Tumiyana, dan Direktur Utama PT KCIC Chandra Dwiputra, telah menandatangani perjanjian perihal pembangunan Kawasan Walini Raya dan lainnya di Kabupaten Bandung Barat, pada Rabu (16/10/2019).
Disepakati dalam perjanjian tersebut, 7.652 Ha wilayah Kabupaten Bandung Barat akan dikembangkan menjadi Kawasan Walini Raya. Di sisi lain, PT KCIC, perusahaan yang membangun dan mengoperasikan proyek KCJB, juga akan mengembangkan kawasan Transit Oriented Development di Walini seluas 1.270 Ha di atas lahan milik PTPN VIII yang berlokasi di areal Kabupaten Bandung Barat.
Proyek ambisius ini dikembangkan oleh Ciputra Group dengan rencana pembangunan pusat bisnis internasional yang terintegrasi dengan hunian ramah lingkungan dan pariwisata, dengan ikon patung Bung Karno setinggi 100 meter. Proyek ini juga mencakup pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan dan gerbang tol baru untuk akses yang lebih mudah.
Pula dari aspek pendanaan proyek sebagaimana disinggung sebelumnya, lanjut Arim, menjadi alat kepentingan pemerintah Cina untuk menjerat Indonesia melalui utang berbunga yang makin mengokohkan penjajahan ekonomi Cina atas Indonesia.
Celakanya, jika dikomparasi dengan proyek serupa di negara Cina, proyek ini sarat dengan dugaan penggelembungan biaya (markup) yang berlipat-lipat, sehingga menimbulkan kekhawatiran adanya celah korupsi karena biaya per kilometer di Indonesia mencapai US$52 juta, jauh lebih tinggi dari Cina (sekitar US$17–18 juta per km).
Tak ayal, pernyataan Prabowo sebagai presiden yang bakal bertanggung jawab atas proyek bermasalah tersebut, dinilai semakin menunjukkan kezaliman pemerintah terhadap rakyat.
Pasalnya, dana untuk menanggulangi utang bisa dipastikan bukan uang pribadi. “Pasti dana dari APBN yang didapatkan dari memeras rakyat lewat pajak,” ungkap Arim.
Solusi Islam
Untuk itu, terhadap proyek yang sudah terlanjur jadi tetapi secara ekonomi justru berpotensi membebani APBN dan BUMN tersebut, Arim memaparkan beberapa solusi dari sudut pandang Islam.
Salah satunya, segera menuntaskan dugaan tindak pidana korupsi berikut mengadili, serta menyita kekayaan seluruh pejabat dan pihak-pihak yang terbukti terlibat.
“Para pejabat dan pengusaha Cina yang terlibat dalam proyek penuh korup ini, juga perlu dihukum karena di dalam Islam pelaku suap, penerima suap dan calo suap wajib dihukum,” tegasnya.
Pun sangat penting mengembalikan mekanisme B to B sebagaimana kesepakatan awal proyek. “Jadi, Cina dan perusahaan yang terlibat harus ikut menanggung kerugian akibat proyek ini,” jelasnya menambahkan.
Dan di saat yang sama, pemerintah Indonesia juga tidak boleh membayar bunga utang yang ditimbulkan akibat proyek ini. Dengan kata lain, modal dari Cina dikembalikan setelah dipotong kerugian akibat proyek tersebut.
Dengan begitu, pemerintah Indonesia bisa kembali mempertimbangkan perlu tidaknya melanjutkan proyek kereta cepat. Tentu dengan catatan, pertimbangan dimaksud untuk kemaslahatan seluruh warga negara.
Namun yang perlu ditekankan, semua itu hanya bisa dituntaskan ketika negeri ini menerapkan syariat Islam secara kaffah. “Masalah tersebut, kemungkinan hanya bisa dijalankan ketika negaranya menerapkan syariat Islam secara kaffah,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat