KA Parahyangan Dihentikan, PEPS: Korupsi Kebijakan demi Whoosh

 KA Parahyangan Dihentikan, PEPS: Korupsi Kebijakan demi Whoosh

MediaUmat Penghentian operasi KA Argo Parahyangan rute Gambir Station (Jakarta) ↔ Bandung Kota Station (Bandung), yang selama puluhan tahun menjadi andalan masyarakat dengan tarif terjangkau dinilai Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan sebagai bentuk korupsi kebijakan yang mengorbankan kepentingan rakyat demi menyelamatkan proyek bermasalah Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh.

“Penghapusan rute kereta Parahyangan itu bisa dikategorikan sebagai korupsi, karena mengorbankan kepentingan rakyat demi menyelamatkan proyek yang bermasalah,” tegasnya dalam siniar Whoosh: Proyek Kebanggaan, Jadi Beban Negara? di kanal YouTube KOMPAS TV, Jumat (31/10/2025).

Menurut Anthony, langkah pemerintah tersebut bukan keputusan yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari pola penyelamatan proyek gagal yang sejak awal sudah dipaksakan meski bermasalah secara ekonomi maupun hukum.

“Whoosh itu proyek yang dipaksakan sejak awal,” ujarnya.

Dari awal, jelasnya, sudah salah perhitungan, dan akhirnya pemerintah menanggung beban besar karena harus menyelamatkan proyek tersebut.

Sejak awal, lanjutnya, keputusan proyek tidak didasarkan pada pertimbangan ekonomi yang rasional, melainkan kehendak politik. Akibatnya, ketika proyek gagal memberi keuntungan, negara harus menanggung bebannya.

“Pemerintah seolah tak punya pilihan lain selain terus menyuntikkan dana rakyat untuk menutup kesalahan sendiri,” tambahnya.

Lebih jauh, Anthony menilai penghapusan layanan yang tarifnya terjangkau menjadi bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada rakyat.

“Parahyangan itu sudah melayani masyarakat luas dengan harga wajar. Tapi sekarang dihapus hanya karena dianggap bersaing dengan Whoosh. Ini jelas keputusan yang merugikan rakyat,” tandasnya.

Ia menegaskan, penyelamatan proyek bermasalah dengan mengorbankan layanan publik seperti Parahyangan menunjukkan bentuk baru korupsi kebijakan.

“Korupsi kebijakan bukan berarti ada uang berpindah tangan, tapi ketika kebijakan digunakan untuk tujuan yang menyimpang dari kepentingan publik. Kalau keputusan pemerintah tidak berpihak pada rakyat, tapi justru mengorbankan kepentingan publik demi investor, itu bisa disebut korupsi kebijakan,” jelas Budiawan.

Menurutnya, praktik semacam ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dalam sistem demokrasi digunakan untuk melindungi kepentingan bisnis tertentu, dengan mengabaikan kepentingan publik, karena itu harus dikritisi dan ditindak.

“Dalam negara demokrasi, kebijakan semacam ini seharusnya dikritisi dan diaudit secara hukum. Karena negara tidak boleh menjadi alat bagi kepentingan oligarki,” tutupnya.[] Zainard

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *