Tiga Keharaman Menimbun Uang di Bank Ribawi
Oleh: dr. Mohammad Ali Syafi’udin
Mengutip CNN Indonesia — Pemerintah daerah (pemda) menumpuk uang dalam jumlah besar di perbankan. Hal itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya mengatakan total dana pemda yang mengendap di bank mencapai Rp234 triliun per September 2025. Ia mengklaim data itu dari Bank Indonesia (BI). “Realisasi belanja APBD sampai dengan triwulan ketiga tahun ini masih melambat. Rendahnya serapan tersebut berakibat menambah simpanan uang pemda yang nganggur di bank sampai Rp234 triliun. Jadi jelas ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” kata Purbaya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025 di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (20/10).
Lebih lanjut, ia mengingatkan agar dana pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak dikelola untuk mencari keuntungan bunga dari deposito. Pemerintah harus memastikan seluruh anggaran bekerja bagi perekonomian. “Kelola dana pemda di bank dengan bijak, simpan secukupnya untuk kebutuhan rutin, tapi jangan biarkan uang tidur. Uang itu harus kerja bantu ekonomi daerah,” katanya.
Kementerian Keuangan mengungkapkan daftar 15 pemerintah daerah (Pemda) yang memiliki simpanan tertinggi hingga triliunan rupiah di bank.
Mengomentari hal di atas maka ada tiga keharaman saat pemerintah menyimpan dan mengendapkan uang di bank ribawi.
Pertama, Syariat Islam melarang riba secara mutlak, berapa pun jumlah atau persentasenya baik besar maupun kecil. Harta hasil riba adalah haram secara pasti, dan tidak ada seorang pun yang berhak memilikinya. Jika pemilik asal harta tersebut diketahui, maka harta itu wajib dikembalikan kepadanya. (An-Nizham al-Iqtishadi Fii al-Islam, hal. 190)
Allah Ta‘ala berfirman:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata: ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Kedua, Islam melarang menimbun emas dan perak yang merupakan alat tukar atau uang tanpa ada hajat atau kebutuhan yang jelas, hal ini berdasarkan firman Allah:
وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. At-Taubah [9]: 34-35)
Syeh Al ‘alamah Taqiyuddin An Nabhani menafsirkan ayat di atas dengan berkata,”Ketika turun ayat yang melarang menimbun emas dan perak, saat itu emas dan perak adalah alat tukar dan standar untuk menilai pekerjaan dan manfaat pada harta, baik yang tercetak seperti koin dinar dan dirham, maupun yang tidak tercetak seperti emas atau perak batangan. Jadi larangan yang ada lebih tertuju pada emas dan perak sebagai alat tukar.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 251).
Hanya saja, perlu dipahami yang dimaksud menimbun harta yang diharamkan adalah menyimpan harta tanpa suatu hajat. Adapun jika menyimpan harta karena ada suatu hajat masa depan, hukumnya boleh, asalkan dikeluarkan zakatnya jika sudah memenuhi kriteria nishab dan haul. Menyimpan harta untuk suatu hajat masa depan itu disebut dengan al iddikhaar (menabung, saving), misalnya untuk dijadikan mahar nikah, atau akan digunakan naik haji, atau akan dijadikan modal usaha, dsb. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 251
Berdasarkan hal tersebut diatas, larangan dalam ayat tersebut tidak hanya berkaitan dengan emas dan perak saja tetapi berlaku pada semua jenis mata uang seperti sekarang ini. Islam mengharamkannya secara tegas berdasarkan nash Al-Qur’an Surat. At-Taubah ayat 34. Ancaman dengan azab yang pedih bagi orang yang menimbun emas dan perak, sebagai alat tukar, maupun menimbun uang merupakan bukti yang jelas bahwa syariat memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan menimbun tersebut secara tegas (An-Nizham al-Iqtishadi Fii al-Islam, hal. 254).
Ketiga, Negara melalaikan kewajibannya dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.
Jika harta itu milik Negara maka negara wajib menggunakan dan membelanjakan sesuai dengan syariat. Jika masyarakat mengalami kesenjangan yang lebar antar individu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maka negara harus memecahkannya dengan cara mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat yakni dengan memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Karena itu negara wajib mencukupinya sehingga akan terwujud keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Allah SWT berfirman
كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS. al-hasyr 7 )
Pada saat negara melihat adanya ancaman terhadap keseimbangan ekonomi di dalam masyarakat maka negara harus menyelesaikan ancaman tersebut dengan cara mensuplai orang yang tidak sanggup memenuhi kebutuhannya dengan harta dari Baitul mal (kas negara), jika di Baitul Mal ada harta yang diperoleh dari harta milik umum dan ghanimah. Sebab ketika Nabi Muhammad ﷺ melihat ada kesenjangan dalam kepemilikan harta antara kaum Muhajirin dan Anshar maka Beliau ﷺ mengkhususkan harta fa’i yang dirampas dari Bani Nadzir untuk kaum Muhajirin, agar terjadi keseimbangan ekonomi.
Jadi kalau harta itu mengendap di bank maka kewajiban negara untuk menyelesaikan ketidakseimbangan di masyarakat akan terabaikan. Wallahu a’lam bis shawab. []
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat