Akademisi: Iran Tak Perpanjang Perjanjian Nuklir karena Merugikan

 Akademisi: Iran Tak Perpanjang Perjanjian Nuklir karena Merugikan

MediaUmat Keputusan Iran untuk tidak memperpanjang perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) usai masa berlaku kesepakatan tersebut habis pada Sabtu (18/10), menurut Mahasiswa Doktoral Nuclear Engineering Institute of Science Tokyo R Andika Putra Dwijayanto karena tidak menguntungkan bagi Iran.

“Tidak mengejutkan. Kalau dilihat dari isi perjanjian yang ditandatangani tahun 2015 itu, Iran berada di posisi yang tidak menguntungkan,” tuturnya kepada media-umat.com, Kamis (23/10/2025).

Walau Menlu Iran saat itu, Javad Sharif, mengatakan bahwa JCPOA adalah win-win solution, Andika melihat isi perjanjian itu lebih banyak merugikan Iran.

“Bayangkan saja, pengayaan uranium Iran harus dikurangi, stockpile uranium dibatasi hanya 300 kg, dan reaktor air berat dikosongkan supaya tidak bisa produksi plutonium,” ungkapnya.

“Apalagi, tahun 2018, AS keluar dari perjanjian secara sepihak, dan serangan terhadap fasilitas nuklir di Fordow bulan Juni kemarin tampaknya menjadi kulminasi kekesalan Iran,” katanya.

Padahal, ujar Andika, Iran sudah tandatangan Traktat Non-Proliferasi (Non-Proliferation Treaty/NPT), dan Ali Khamenei pernah memfatwakan haram pengembangan senjata nuklir. Iran pun mengizinkan inspektur IAEA untuk memeriksa fasilitas nuklirnya.

“Tapi, tetap saja Iran diperlakukan seolah-olah adalah senjata nuklir dorman yang bisa meledak kapan saja. Siapa pun yang diperlakukan seperti ini, setelah berusaha mengikuti maunya Eropa dan AS, pasti lama-lama akan sebal juga. Reaksi Iran sangat wajar,” tandasnya.

Ia mengungkapkan, JCPOA ini pada dasarnya perjanjian antara Eropa, AS, dan Iran, agar sanksi ekonomi dan militer yang diberlakukan pada Iran dicabut dengan syarat Iran mereduksi habis-habisan program nuklir mereka. Tujuannya agar Iran tidak mengembangkan senjata nuklir dan mengancam stabilitas kawasan yang, strictly speaking (tepatnya) tidak stabil karena intervensi AS dan Eropa sendiri.

“Jadi ini khusus terkait Iran. Agak aneh, memang, karena Pakistan dan India sudah jelas-jelas punya senjata nuklir bahkan tidak menandatangani NPT, tetapi tidak ada perlakuan seperti terhadap Iran, yang dari dulu hanya dirumorkan mengembangkan senjata nuklir tapi tidak pernah terbukti. Tampaknya karena Iran selama ini di-setting sebagai rogue nation (negara nakal),” terangnya.

Dunia Islam Wajib Kuasai Nuklir

Andika melihat dunia ini sedang mengalami ancaman besar dari aspek lingkungan, khususnya akibat pemanasan global, perubahan iklim, dan polusi udara. Semuanya disebabkan pembakaran energi fosil dalam jumlah besar untuk berbagai keperluan industri.

“Artinya apa? Umat manusia mesti melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi bersih, utamanya nuklir. Kenapa? Karena nuklir memiliki semua benefit dari energi fosil minus polusi yang menyebabkan masalah lingkungan,” katanya.

Dibandingkan energi fosil pula, kata Andika, energi nuklir relatif memiliki kompleksitas teknologi yang lebih tinggi dan membutuhkan mata rantai industri yang kuat. Artinya, menguasai teknologi energi nuklir adalah testamen kekuatan industri sebuah negara.

“Dari sini, jelas menguasai teknologi energi nuklir adalah kewajiban bagi umat Islam, baik dari aspek transisi energi untuk mencegah dharar (bahaya) berupa bencana lingkungan, maupun sebagai testamen kekuatan umat,” tegasnya.

Adapun soal senjata nuklir, lanjutnya, program pelucutan senjata nuklir global saat ini jauh dari efektif. AS dan Rusia punya program megaton to megawatt, jadi bahan baku plutonium dari senjata nuklir dikonversi untuk energi.

Rusia, sebutnya, sudah mengonversi plutonium dari senjata nuklir AS untuk bahan bakar, tapi AS tidak melakukan hal yang sama pada plutonium dari Rusia. Sementara negara-negara pemegang senjata nuklir lain tidak benar-benar ada upaya serius melucuti senjata nuklir mereka, malah kadang dipakai sebagai retorika ancaman.

“Kalau sudah begini, ya wajar saja kalau negeri kaum Muslimin pada suatu titik akan mengembangkan dan menguasai senjata nuklir itu. Toh, sekarang saja Pakistan sudah punya sekian ratus unit senjata nuklir, dan sekalipun mereka masih bersitegang dengan India, konfliknya tidak separah sebelum kedua negara menguasai senjata nuklir,” jelasnya.

Karena kalau tidak, sebutnya, jelas kaum Muslim akan mudah diancam oleh nuclear weapon state (negara bersenjata nuklir) yang berlagak sebagai polisi dunia, seolah-olah mereka adalah yang berjasa membawa kestabilan dunia padahal hanya membuat kekacauan saja.

Ia menilai, regulasi teknologi nuklir abad 21 ini rumit, berbelit-belit, dan terlalu banyak penekanan pada aspek safety, security, dan safeguard (3S), khususnya pasca skandal 11 September 2001.

Akhirnya, sebut Andika, baik di dunia Islam maupun di luar dunia Islam, riset dan pengembangan teknologi nuklir jadi sangat lambat, terhambat, mahal, dan tidak memungkinkan untuk merealisasikan potensi optimal teknologi nuklir itu sendiri. Potensi nuklir dibonsai habis dengan penekanan berat pada aspek 3S di atas.

“Maka dunia Islam harus punya visi politik sendiri yang berdiri bebas dari berbagai retorika 3S yang dipaksakan oleh dunia Barat,” tegasnya.

Visi tersebut, jelas Andika, visi politik tunggal dalam penguasaan teknologi energi nuklir untuk kemaslahatan umat Islam secara khusus dan umat manusia secara umum, tanpa terlalu dikekang oleh aspek 3S khususnya security.

“Bukan visi yang terpecah belah dan cenderung mengikuti kemauan hegemoni dunia yang tidak pernah berkenan energi nuklir dimanfaatkan secara optimal karena khawatir tahta mereka akan terancam karenanya,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *