PAKTA: Uang Makan Rp6.500, Tamparan Keras bagi Akal Sehat

MediaUmat – Berhentinya dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Makassar akibat uang makan hanya Rp6.500 per porsi, menurut Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana, merupakan tamparan keras bagi akal sehat
“Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru saja dijalankan di sejumlah daerah, termasuk Makassar, langsung menuai masalah serius. Berhentinya dapur MBG akibat keterbatasan uang makan hanya Rp6.500 per porsi merupakan tamparan keras bagi akal sehat,” tuturnya kepada media-umat.com, Sabtu (4/10/2025).
Menurutnya, dengan harga kebutuhan pokok yang terus melambung, Rp6.500 bahkan tidak cukup untuk sekadar membeli sepotong ayam goreng atau segelas susu. “Bagaimana mungkin angka sekecil itu dianggap cukup untuk memberi gizi layak bagi anak sekolah?” ungkapnya.
Mengutip hadis Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah pengurus umat, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya, Erwin mengingatkan negara tidak boleh berhitung ala pedagang, melainkan wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat secara layak.
“Ketika negara hanya menganggarkan Rp6.500, itu artinya negara melakukan pengabaian, bukan pengurusan. Apalagi dalam kondisi saat anggaran justru banyak digelontorkan untuk proyek-proyek mercusuar, infrastruktur kapitalistik, bahkan pembayaran utang berbunga kepada lembaga asing. Ironinya, perut anak bangsa dikompensasikan dengan menu murah yang bahkan tidak memenuhi standar gizi minimal,” bebernya.
Banyak Masalah
Masalah yang muncul dari MBG ini, kata Erwin, bukan hanya soal uang makan yang tidak masuk akal.
“Ada persoalan kualitas dan gizi makanan yang rendah karena menu terpaksa ditekan mengikuti anggaran. Distribusi juga bermasalah. ada sekolah yang mendapat, ada yang tidak, bahkan ada yang terlambat berhari-hari. Korupsi dan mark-up menjadi hantu laten di balik sistem tender yang rumit dan sarat kepentingan,” jelas Erwin.
Belum lagi, lanjutnya, program ini dibangun dengan mentalitas charity, seolah-olah negara sedang memberi sedekah kepada rakyat, padahal itu sebenarnya kewajiban yang melekat pada peran negara.
“Akhirnya, MBG tidak melahirkan rasa aman dan kepercayaan, tetapi justru menambah kekecewaan rakyat terhadap pemerintah,” tandasnya.
Akar Masalah
Erwin mengatakan, akar masalah terletak pada sistem kapitalisme-demokrasi yang menjadi kerangka penyelenggaraan negara.
“Dalam sistem kapitalistik, logika anggaran publik adalah efisiensi biaya, bukan pemenuhan kebutuhan manusia secara hakiki. Tender menjadi ladang subur untuk praktik oligarki dan mark-up,” ungkapnya.
Pendidikan dan pemenuhan gizi anak, kata Erwin, tidak ditempatkan sebagai hak fundamental, melainkan sekadar proyek politik populis untuk mengerek citra penguasa.
“Bahkan pemimpin yang lahir dari demokrasi pun sering kali berpikir transaksional. Apa yang menguntungkan secara politik, itulah yang dijalankan, bukan apa yang wajib bagi rakyat. Karena itu, meskipun penyelenggara diganti seribu kali, selama sistem tetap kapitalistik, masalah akan terus muncul,” tegasnya.
Solusi Islam
Erwin mengatakan, Islam menawarkan solusi yang berbeda dan mendasar. Dalam Islam, negara berkewajiban menjamin kebutuhan rakyat, termasuk anak-anak yang menuntut ilmu. Pemberian makanan bergizi bagi pelajar bukanlah program murah yang penuh pencitraan, melainkan tanggung jawab syar’i yang harus ditunaikan negara.
“Negara dalam Islam memiliki mekanisme pendanaan melalui Baitul Mal, yang sumbernya beragam yakni pengelolaan kekayaan alam sebagai milik umum, zakat, fai’, kharaj, jizyah, dan lain-lain. Tidak ada utang ribawi yang menghisap anggaran, tidak ada pula ruang bagi korupsi tender, karena distribusi kekayaan yang adil dan amanah,” terang Erwin.
Lebih dari itu, ujarnya, kepemimpinan dalam Islam bukanlah ajang mencari citra politik. Seorang khalifah akan mengurus rakyat karena takut kepada Allah, bukan karena ingin memenangi pemilu berikutnya.
“Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Khaththab sampai memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang kelaparan, karena ia merasa malu jika ada satu orang saja yang tidak terpenuhi haknya. Standar inilah yang seharusnya diterapkan, bukan standar Rp6.500 untuk perut anak bangsa,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat