JATAM: Pengambilalihan Lahan Nikel Hanya Simbol Kosong

 JATAM: Pengambilalihan Lahan Nikel Hanya Simbol Kosong

MediaUmat Pengambilalihan sebagian kecil lahan tambang nikel milik dua perusahaan berbeda oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, dinilai Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) tak lebih sekadar simbol kosong penuh tipu muslihat.

“Tindakan ini hanya simbol kosong penuh tipu muslihat,” demikian bunyi siaran pers JATAM yang diterima media-umat.com, Rabu (24/9/2025).

Sebab, menurutnya, sama sekali tidak menyentuh problem substansial yang selama ini diderita oleh warga lingkar industri keruk nikel. Artinya, pemerintah tetap mengorkestrasi operasi pengerukan nikel secara besar-besaran yang disponsori oleh investasi asing, dilegalkan melalui sejumlah kebijakan hilirisasi, dan dijaga oleh aparatus kekerasan.

Adalah apa yang dianggap sebuah prestasi, negara melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) atau dikenal sebagai Satgas Halilintar, sebagaimana keterangan pers Kementerian ESDM pada 15 September 2015, mengklaim berhasil menguasai kembali lahan tambang seluas 321,07 hektare dari PT Weda Bay Nickel (WBN) seluas 148,25 hektare di Maluku Utara dan dari PT Tonia Mitra Sejahtera di Sulawesi Tenggara seluas 172,82 hektare.

PT WBN merupakan perusahaan tambang serta pengelola smelter nikel yang berada dalam kawasan proyek strategis nasional PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). WBN adalah perusahaan tambang nikel yang memegang Kontrak Karya Generasi VII sejak 1998 yang diperbarui pada 2019.

Berdasarkan catatan Minerba One Data Indonesia (MODI), PT WBN memiliki izin berupa Kontrak Karya (KK) dengan nomor izin 239.K/30/DJB/2019, yang berlaku sejak 30 Desember 2019 hingga 27 Februari 2048 dengan komoditas yang dibongkar adalah nikel.

Di saat yang sama, JATAM juga melihat klaim tersebut menunjukkan pemerintah sedang pencitraan seolah-olah bekerja untuk rakyat.

Sebutlah persoalan mekanisme pengembalian lahan kepada negara yang tak dilakukan melalui mekanisme pengadilan yang transparan dan akuntabel.

“Belajar dari penunjukan Agrinas, perusahaan yang sarat kepentingan Partai Gerindra dan militer, yang diberi mandat langsung untuk mengelola lahan sitaan Satgas PKH yang dikembalikan ke negara, tak menutup kemungkinan lahan tambang yang disita tersebut juga akan diserahkan ke korporasi dengan embel-embel milik negara,” ulasnya.

Selain diberikan jaminan dapat meneruskan aktivitas di dalam kawasan hutan, mekanisme pembayaran sanksi dan denda administratif misalnya, memungkinkan adanya pelepasan status kawasan hutan sepanjang tak ditemukan tumpang tindih dengan perizinan usaha lainnya.

Dengan kata lain, tindakan pemerintah, termasuk pembentukan satgas, bisa disebut hanya berjalan dalam kerangka administratif yang membuka ruang untuk sanksi berupa pembayaran, bukan solusi yang lebih komprehensif.

Mesin Penghancur Halmahera

Hanya dalam kurun 2019-2024, ungkap JATAM lebih lanjut, IWIP telah menghancurkan hutan seluas 2.330 hektare. Artinya, keberadaan Kawasan Industri Weda Bay menyumbang sebagian besar kehancuran hutan primer Halmahera Tengah yang mencapai 4.190 hektare per 2024.

Celakanya, keberadaan Weda Bay menjelma menjadi raksasa pengisap air dalam jumlah tiga kali lebih banyak dari kebutuhan air seluruh penduduk di Kabupaten Halmahera Tengah. Pun berkenaan pencemaran berbagai sungai yang menjadi sumber air warga, Weda Bay juga menjadi sponsor utama penghancuran kualitas air untuk warga.

Tak hanya itu, Weda Bay juga ‘merampas’ lahan pangan sehingga warga kehilangan lumbung pangan. Akibatnya, pasokan pangan kini harus didatangkan dari wilayah Transmigran Wairoro, Weda Selatan dan Waleh di Weda Utara. Namun ironisnya, kedua wilayah tersebut masuk dalam perencanaan perluasan kawasan industri PT IWIP.

Demikian juga kawasan pesisir tak luput dari kehancuran akibat pencemaran dari aktivitas tambang dan smelter Weda Bay. “Ini membuat nelayan kehilangan wilayah tangkap yang berdampak pada penurunan produktivitas,” imbuhnya.

Bertambah celaka, operasional kawasan industri tersebut juga berdampak buruk pada kesehatan hingga terampasnya rasa aman warga. “Warga dipaksa akrab dengan berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor akibat pengerukan bentang alam besar-besaran yang diorkestrasi Weda Bay,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *