Angka Bunuh Diri Naik, Farid Wadjdi Sebut Tiga Pilar Penting

MediaUmat – Pemimpin Redaksi Majalah Al-Wa’ie Farid Wadjdi mengatakan, setidaknya ada tiga pilar pendekatan yang harus ditegakkan di tengah naiknya angka bunuh diri di Indonesia terutama karena himpitan ekonomi.
“Tiga pilar (pendekatan) ini menurut saya sangat penting,” ujarnya dalam rubrik Sorotan Dunia Islam, Rabu pagi (10/9/2025) di Radio Dakta 107.0 FM Bekasi.
Pertama, keimanan individu. Kedua, perhatian dari sesama komunitas yang ada atas nama kaum Muslim. Ketiga, peran negara.
Diberitakan sebelumnya, penemuan jasad ibu dan dua anaknya di dalam rumah mereka yang terkunci rapat pada Jumat (5/9) menggegerkan warga Desa Kiangkore, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.
Ada dugaan bahwa wanita tersebut melakukan aksi bunuh diri seusai meracuni dua anaknya. Dari hasil olah TKP turut ditemukan surat yang berisi curhatan wanita tersebut terkait masalah utang.
Meski penyebab bunuh diri tidak pernah tunggal, berdasarkan rekapitulasi Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri per tahun Agustus 2024, memperlihatkan angka kasus bunuh diri menyentuh 849 kasus. Disebutkan masalah perekonomian menjadi alasan paling banyak yang memicu bunuh diri, sekitar 31,91%.
Namun ibarat fenomena gunung es, Asosisasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia menjelaskan angka bunuh diri di Indonesia tidak sepenuhnya tercatat atau terlaporkan (underreporting). Ada beberapa alasan melatarbelakanginya, mulai dari stigma, permintaan keluarga atau pihak terkait seperti dokter maupun polisi, hingga sistem registrasi kematian yang belum akurat.
Lebih dari itu tak hanya untuk kasus bunuh diri, pendekatan-pendekatan ini juga perlu dilakukan untuk menghilangkan tindak kriminalitas lainnya yang disebabkan himpitan ekonomi.
Keimanan
Lantas terkait pilar pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah penekanan kepada keimanan secara individu. Kata Farid, perkara ini sangat penting untuk menghadapi kesulitan atau tekanan kehidupan, bisa berupa masalah finansial, sosial, atau kondisi sulit lainnya yang membatasi kebebasan atau kebahagiaan seseorang.
Tentu dalam hal keimanan kepada ketentuan Allah SWT, termasuk bersabar ketika menghadapi kesulitan hidup juga harus ditanamkan. Kesabaran di sini sesungguhnya juga bagian dari keimanan dimaksud.
Pendekatan kedua, sebagaimana hadits yang menekankan pentingnya rasa peduli dan empati terhadap sesama, terutama tetangga, keimanan seseorang juga diukur dari interaksinya dengan lingkungan sekitar.
Artinya, basis sosial kemasyarakatan harus dibangun. Terlebih dalam Islam terdapat prinsip silaturahmi, dalam hal ini di antara kerabat harus saling memperhatikan.
“Orang yang paling dekat dengan kita itu, itu yang paling layak, paling berhak untuk mendapatkan kebaikan dari kita. Bahkan disebutkan bersedekah kepada saudara kita sendiri itu mendapatkan dua pahala di dalamnya (pahala sedekah dan silaturahmi atau menjalin tali kekerabatan),” tuturnya.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasai, yang menyatakan sedekah kepada orang miskin hanya bernilai satu pahala, sedangkan sedekah kepada kerabat bernilai dua pahala karena menggabungkan nilai sedekah dan silaturahmi.
Kemudian pilar ketiga, adalah peran negara. Artinya, pemerintah tak membuat kebijakan yang menambah kesulitan masyarakat, seperti pemungutan bahkan penaikan pajak, yang justru menimbulkan kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat dan biaya hidup, serta potensi kesulitan bagi UMKM untuk beradaptasi.
Padahal, banyak sumber pendapatan yang semestinya bisa diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam (SDA). Tetapi alih-alih dikelola negara sendiri justru membiarkan SDA diambil oleh swasta bahkan asing.
Termasuk sikap suka pamer dari para elite politik. “Bagaimana mereka seolah tidak ada empati terhadap kondisi masyarakat sekarang,” singgungnya, seraya kembali menegaskan pentingnya tiga pilar pendekatan ini.
Kepemilikan dalam Islam
“Sebenarnya tidak pantas kita itu hidup miskin apalagi sampai ada yang tidak makan. Karena kita hidup dengan kekayaan alamnya yang luar biasa,” ujar Farid, menyinggung Indonesia berikut potensi kekayaan alam melimpah sehingga masyarakatnya tak pantas hidup miskin.
Tak ayal, masalah utama sebenarnya bisa disebut bukan persoalan per individu, tetapi bagaimana negara mau mengelola kekayaan alam dengan baik untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adalah prinsip kepemilikan dalam Islam, di antaranya adalah kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) yang ditentukan karena suatu benda dalam pemanfaatannya diperuntukkan bagi masyarakat umum sehingga menjadi kepentingan bersama.
Sebutlah barang tambang yang relatif tidak terbatas jumlahnya, serta SDA lain yang sifatnya tidak boleh dimiliki hanya oleh satu orang atau secara individual.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api,” demikian bunyi HR Abu Dawud dan Ahmad, yang berarti hutan, air maupun listrik dan sumber energi besar lainnya masuk dalam kategori milik umum.
Berangkat dari penerapan syariah Islam dalam bingkai negara inilah, pungkas Farid, persoalan kemiskinan bisa dipastikan tuntas. Sebaliknya, selama umat bertahan dengan kapitalisme yang nyata-nyata menyengsarakan serta menyebabkan kemiskinan, maka tidak akan terjadi perubahan yang mendasar.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat