Kiai Shiddiq Tegaskan Perbedaan Pajak Versi Kapitalisme dan Islam

 Kiai Shiddiq Tegaskan Perbedaan Pajak Versi Kapitalisme dan Islam

MediaUmat Meski istilah pajak yang terdapat dalam ekonomi Barat (kapitalisme) boleh dipakai umat Islam, tetapi dari segi hukum yang mengatur, Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi, menegaskan adanya perbedaan.

“Dari segi hukum yang mengatur pajak, ada perbedaan,” ujarnya kepada media-umat.com, Sabtu (23/8/2025).

Diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pajak memiliki filosofi yang sejalan dengan zakat dan wakaf.

“Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Caranya, hak orang lain itu diberikan. Ada yang melalui zakat, wakaf dan pajak. Pajak itu kembali pada yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 di Jakarta, Rabu (13/8/2025)

Lebih lanjut Kiai Shiddiq mengatakan, pajak dalam kapitalisme diatur dengan hukum yang sifatnya sekuler, sedang pajak dalam Islam diatur dengan hukum-hukum syara’ yakni hukum Islam dari Al-Qur’an dan sunah.

“Boleh bagi khalifah (kepala negara) mewajibkan pajak atas kaum Muslimin dan boleh pula dia mengambil pajak itu dari mereka secara paksa. [Hanya saja] dia mengambil pajak dalam keadaan ini tidaklah berdasarkan perintah penguasa untuk membayar pajak, melainkan berdasarkan perintah Allah untuk membayar pajak. Penguasa hanyalah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah,” urai Kiai Shiddiq, mengutip keterangan Syekh Taqiyuddinn an-Nabhani dalam kitab Muqaddimat al-Dustur, Juz II, hlm. 117).

Maka, jika terdapat suatu kewajiban syar’i (dari Allah) atas kas negara (baitul mal) dan juga atas kaum Muslim, maka kewajiban syar’i itu akan dibiayai dari harta baitul mal.

Dengan kata lain, jika dalam baitul nal tidak terdapat harta, atau terdapat harta tetapi tidak cukup untuk membiayai kewajiban syar’i itu, maka khalifah boleh mewajibkan pajak atas kaum Muslim sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syara’.

Dengan kata lain pula, masih dari kitab yang sama, jika penguasa memungut pajak untuk sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau bahkan tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits, berarti penguasa itu telah mewajibkan pajak atas dasar kehendak penguasa itu sendiri, bukan atas dasar kehendak Allah.

“Pemungutan pajak seperti ini haram hukumnya dan pelakunya akan masuk neraka kelak di Hari Kiamat,” tuturnya, seraya menyampaikan sabda Rasulullah SAW yang artinya:

“Tidak akan masuk surga, siapa saja yang memungut cukai/pajak [yang tidak syar’i],’ demikian bunyi hadits riwayat Ahmad dan Al-Hakim.

Empat Syarat Pajak dalam Islam

Lebih jauh, terang Kiai Shiddiq mengutip

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, setidaknya ada empat syarat pajak di dalam Islam. Pertama, pajak dipungut untuk melaksanakan kewajiban finansial bersama antara kewajiban negara dengan umat Islam. Misalnya: pajak untuk menyantuni fakir dan miskin.

Kedua, pajak dipungut pada saat dana di kas negara (baitul mal) tidak ada atau kurang. Ketiga, pajak dipungut dari warga Muslim saja, tidak dari warga non-Muslim. Keempat, pajak dipungut hanya dari warga yang mampu, tidak dari warga miskin (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam).

Dengan demikian, sebut Kiai Shiddiq, jelaslah bahwa pajak yang dipraktikkan saat ini, bukanlah pajak syariah, melainkan pajak nonsyariah, yang hukumnya tidak boleh (haram) dipungut oleh negara dari rakyatnya.

“Buktinya, pajak dipungut dari orang miskin, misalnya: pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN), dsb. Padahal seharusnya orang miskin itu bebas pajak,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *