Tunjangan yang Melukai

 Tunjangan yang Melukai

Meski Republik ini sudah berumur 80 tahun, ujian bagi rakyatnya seakan tak berujung. Di tahun 2025 ini lapangan kerja semakin menyempit, PHK menjadi tren, ditingkahi dengan naiknya biaya hidup yang semakin menekan kantong dan batin. Besaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di banyak daerah turut meroket hingga ada yang mencapai 1000%. Namun di saat yang seharusnya para anggota DPR memberi solusi, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat dihadiahi dengan kabar yang melukai hati. Pendapatan Anggota DPR RI naik hingga menembus Rp 100 Juta per orang per bulan. Diantara item yang mencolok adalah tunjangan rumah untuk mereka yang besarnya Rp 50 Juta per orang per bulan.

Ketimpangan jelas terjadi di saat Indonesia masih mengalami backlog perumahan yang tinggi. Diakui oleh wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah, data backlog perumahan atau kesenjangan antara jumlah rumah yang tersedia dengan yang dibutuhkan mencapai 15 juta unit pada tahun 2025 (kabarbisnis.com, 22/04/2025). Harga tanah yang melambung tinggi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya memperparah kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah. Kesulitan ini tidak dialami para anggota dewan. Sedianya tunjangan Rp 50 juta per bulan tersebut digunakan sebagai pengganti fasilitas rumah jabatan yang tidak didapat lagi oleh anggota DPR periode 2024-2029. Dengan uang tersebut, anggota DPR diharap lebih leluasa untuk menggunakannya bagi tempat tinggal. Entah itu untuk mengontrak, ngekos, atau mencicil biaya rumah. Sementara rumah dinas yang ada sudah dianggap tak layak. Padahal rumah yang mereka anggap tak pantas itu masih terlalu mewah bagi rakyat. Di Jakarta dan banyak kota besar masih banyak rumah rakyat yang terbuat dari tumpukan tripleks dengan penyangga kayu. Itu pun para penghuni masih harus berdesakan karena ramainya anggota keluarga yang menempati.

Ironisnya lagi, kenaikan pendapatan anggota dewan tersebut  terjadi disaat belanja negara diperketat. Anggaran kementerian dipangkas. Transfer dana dari pusat ke pemerintah daerah pun terus berkurang. Akibatnya, Kepala Daerah beramai-ramai menaikan pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Aksi kemarahan masyarakat terjadi dimana-mana. Sayangnya kondisi ini tak memantik rasa empati. Tak sedikit anggota dewan yang mengaku pantas mendapatkan pendapatan besar tersebut dan lucunya justru malah ada yang masih merasa kurang.

Tunjangan tersebut jelas fantastis bagi ukuran rakyat Indonesia. Jika tunjangan rumah sebesar Rp 50 Juta per bulan itu dikalikan sebanyak 580 anggota DPR, maka untuk 5 tahun masa jabatan, negara harus dibebani biaya sebesar Rp 1,74 triliun. Anggaran sebesar itu setara dengan APBD satu kabupaten/kota di Indonesia. Hanya saja, jika tunjangan rumah digunakan untuk 580 orang, APBD kabupaten/kota digunakan melayani kehidupan publik. Dari layanan sekolah, puskesmas, air bersih, pembangunan jalan, drainase, sampah, hingga gaji ribuan pegawai pemerintah daerah. Ada hajat hidup ratusan ribu hingga jutaan manusia di daerah kabupaten/kota tersebut. Anggaran yang sama jika digunakan untuk menggaji guru atau tenaga kesehatan dengan asumsi gaji asumsi 4 juta per bulan, maka dapat digunakan untuk menggaji 36.000 orang selama setahun.

Seperti biasanya, ketika menghadapi banyak hujatan dari masyarakat, yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Anggota DPR menyatakan besaran tunjangan tersebut berdasarkan standar yang ditetapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sehingga anggota DPR dalam posisi sebagai penerima saja ketentuan dari Kemenkeu. Sementara Kemenkeu sendiri merujuk pada kesepakatan politik anggaran yang merupakan kesepakatan antara eksekutif (Pemerintah) dan legislatif yang dalam hal ini adalah DPR. Artinya kebijakan tersebut pasti sepengetahuan atau bahkan arahan dari kesepakatan kedua belah pihak tersebut. Sebagaimana diketahui umum, banyak anggota DPR yang mengeluhkan fasilitas rumah dinas di Kalibata yang dianggap sudah tidak layak dan banyak mengalami kerusakan. Mereka berdalih bahwa sebagai pejabat negara mereka perlu rumah yang merepresentasikan status mereka. Demi mendukung kenyamanan kerja sehingga diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang optimal. Rumah yang representatif juga diperlukan untuk tempat menerima konstituen yang mereka wakili.

Namun begitu tepatkah kebijakan tunjangan rumah yang begitu besar ini? Apalagi di saat kondisi rakyat sedang tidak baik-baik saja dan Negara sedang melakukan pengetatan pengeluaran pemerintah. Tidak sedikit masyarakat kemudian membandingkan dengan pendapatan anggota legislatif di luar negeri. Banyak negara yang ternyata tidak seroyal Indonesia dalam memberikan berbagai fasilitas dan tunjangan bagi para wakil rakyat. Alasan negara-negara tersebut, wakil rakyat juga adalah rakyat biasa yang tidak perlu diistimewakan sedemikian rupa diluar batas kewajaran.

Keadaan ini semakin menunjukkan belang dari sistem yang berlaku saat ini. Aturan main dalam politik, regulasi, ketentuan teknis, serta budaya politik dan pemerintahan yang diterima sebagai kelaziman  telah menjadikan orang-orang yang minim empati pada nasib rakyat justru menjadi wakil rakyat. Mereka yang tidak mumpuni mengelola negara karena minim pengetahuan dan pengalaman tapi piawai memainkan sentimen popularitas karena besarnya modal, menjadikan mereka duduk sebagai penentu nasib rakyat. Sistem ini juga yang mengatur suara mereka di parlemen sebagai otoritas mutlak mengatur hitam putih negeri ini. Meski kebijakan dan peraturan yang dihasilkan seringkali salah dan lebih banyak digunakan untuk melanggengkan kepentingan segelintir mereka.

Kita rindu dengan pemimpin seperti Rasulullah SAW yang meski saat memegang kekuasaan besar saat berhasil menyatukan jazirah arab, beliau masih tidur beralaskan tikar pelepah kurma. Meninggalkan bekas di punggung beliau saat bangun. Kita menantikan orang seperti Abu Bakar yang saat menggantikan Rasulullah memimpin Daulah Islam tetap hidup sederhana. Kita pun patut mencontoh Umar bin Khattab yang pernah membatasi dirinya untuk makan yang sebenarnya standar dan tidak mewah sebagai bentuk empati pada kondisi rakyatnya yang sedang mengalami masa paceklik. Kita berharap kepemimpinan dan sistem yang diajarkan Islam kembali mewarnai Indonesia dan dunia.

Muhammad K (ISGOV – Islamic Governance Initiative)

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *