FDMPB: Sistem Kapitalisme, Penjajahan Gaya Baru di Indonesia

MediaUmat – Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menilai kapitalisme yang diterapkan hari ini menjadi alat penjajahan gaya baru di Indonesia.
“Sistem kapitalisme, penjajahan gaya baru di Indonesia,” ujarnya kepada media-umat.com, Ahad (17/8/2025)
Melalui sistem ini, kata Ahmad, Indonesia tetap berada dalam cengkeraman kekuatan kapitalis global.
“Neo-imperialisme hari ini tidak datang dalam bentuk kolonialisme bersenjata, tetapi dalam bentuk penguasaan ekonomi oleh kekuatan asing, utang luar negeri, investasi asing langsung (FDI), dan intervensi institusi global seperti IMF dan Bank Dunia,” ungkapnya.
Menurutnya, kapitalisme modern memungkinkan korporasi transnasional dan negara adidaya mengontrol negara-negara berkembang melalui privatisasi sektor strategis, utang luar negeri dengan syarat liberalisasi ekonomi, penguasaan pasar domestik oleh produk dan modal asing dan eksploitasi tenaga kerja murah.
Melalui instrumen hukum dan ekonomi, ujar Ahmad, negara berkembang seperti Indonesia kehilangan kedaulatan atas kebijakan ekonomi dan sumber dayanya sendiri. Kebijakan negara banyak diintervensi oleh korporasi dan lembaga multinasional demi stabilitas pasar dan keuntungan kapital.
“Praktik neokolonialisme dan neoimperialisme yang berkembang dalam kerangka sistem kapitalisme neoliberal, berkontribusi terhadap kemiskinan struktural di Indonesia. Sebabnya adalah kelemahan dalam penguasaan sumber daya alam, ketergantungan pada utang luar negeri, serta dominasi modal asing yang melemahkan industri dalam negeri dan memperburuk ketimpangan ekonomi,” beber Ahmad.
Lebih lanjut, kata Ahmad, kapitalisme modern di Indonesia berwajah neoliberal, ditandai oleh liberalisasi ekonomi, privatisasi BUMN, dan intervensi seragam terhadap mekanisme pasar. Peran negara sebagai pengatur melemah, sementara peran modal, khususnya asing, menjulang.
“Neokolonialisme melibatkan kontrol terselubung ekonomik tanpa pendudukan langsung: kontrol investasi, utang, dan kebijakan. Dalam konteks Indonesia disebut sebagai nekolim (neokolonialisme–imperialisme), negara tetap tergantung secara struktural,” tegasnya.
Ahmad mengatakan, Indonesia sangat bergantung pada investasi asing di sektor pertambangan, energi, dan perkebunan. Contohnya: Freeport di Papua, Chevron di Blok Rokan, serta BP di LNG Tangguh, yang dieksploitasi oleh perusahaan luar negeri hingga merugikan rakyat dan lingkungan.
“Lebih dari 90 % lahan, kekayaan migas, dan mineral dikuasai modal asing. Akibatnya, meski Indonesia kaya SDA, tetap menjadi importir migas, dan industri bernilai tambah domestik terpuruk,” ungkapnya.
“Kebijakan seperti PP No. 20/1994 membebaskan perusahaan asing dari kewajiban divestasi, sehingga Indonesia hanya memegang saham tipis di sektor tambang besar: e.g. Freeport hanya sekitar 9,36 %,” tambahnya.
Indonesia, kata Ahmad, menanggung utang luar negeri triliunan rupiah kepada lembaga yang sering mensyaratkan liberalisasi ekonomi dan privatisasi sebagai imbalannya. Ini menciptakan tekanan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
“Penguasaan SDA oleh kapitalis menyebabkan kemiskinan yang bersifat struktural: akses rakyat terhadap kekayaan alam dibatasi, sementara modal dan keuntungan terkonsentrasi pada segelintir elite,” katanya.
Sejumlah laporan, kata Ahmad, menunjukkan bahwa segelintir orang terkaya mendominasi kekayaan nasional—seperti yang diklaim oleh Oxfam bahwa empat orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan 100 juta orang termiskin. Dominasi kapital membuat jurang kemiskinan dan oligarki semakin melebar.
Akibat
Ahmad melihat, eksploitasi lahan oleh modal asing dan domestik menyebabkan deforestasi, bencana ekologis, serta konflik agraria, terutama terhadap masyarakat adat dan petani.
“Neokolonialisme dan neoimperialisme dalam bingkai kapitalisme neoliberal di Indonesia bertumpu pada ketergantungan pada modal asing dan utang luar negeri, penguasaan sumber daya oleh korporat asing yang melemahkan pengelolaan nasional, kesenjangan akses dan distribusi, memperkuat kemiskinan struktural, serta kelemahan regulasi dan korupsi memperparah kerugian sosial dan lingkungan,” terangnya.
Selain itu, menurutnya, akibat penjajahan gaya bari sistem kapitalisme di negeri ini adalah ketimpangan sosial-ekonomi meningkat tajam, segelintir elite menguasai sebagian besar kekayaan nasional, eksploitasi sumber daya alam oleh asing mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat lokal, ketergantungan utang luar negeri menjerat APBN dan membatasi ruang gerak kebijakan dan kemiskinan struktural tetap bertahan meski berbagai program bantuan digulirkan.
Solusi
Ahmad menilai, perlu adanya solusi yakni kedaulatan ekonomi, termasuk reformasi agraria, penguatan regulasi atas SDA, transparansi utang dan pemanfaatan subsidi sosial agar rakyat bisa berdiri di kaki sendiri (berdikari).
Menurutnya, Indonesia akan terbebas dari penjajahan gaya bari sistem kapitalisme jika mau menerapkan sistem Islam secara kaffah. Sebab Islam adalah agama sekaligus ideologi anti penjajahan.
“Sistem Islam adalah sistem komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi, pemerintahan, politik luar negeri, dan distribusi kekayaan. Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi juga sistem peradaban,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat