HILMI: Bukan Takdir, Pengangguran Buah Sistem Rusak

MediaUmat – Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyatakan pengangguran masif yang terjadi di Indonesia bukan sekadar persoalan teknis atau kurangnya pelatihan kerja, melainkan buah dari kerusakan sistemik yang terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme.
“Sungguh, pengangguran bukan takdir, tetapi buah dari sistem yang rusak. Solusinya bukan sekadar pelatihan kerja, tetapi perubahan paradigma menuju sistem yang adil, amanah, dan berbasis wahyu,” tegas HILMI dalam pernyataan resminya kepada media-umat.com, Jumat (18/7/2025).
HILMI merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 yang mencatat jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,28 juta jiwa, dengan sekitar 1 juta di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi.
Bagi HILMI, ini adalah ironi besar. “Mereka yang menghabiskan waktu dan biaya menempuh pendidikan justru terjebak dalam realitas tanpa pekerjaan,” kutip pernyataan tersebut.
Menurut HILMI, akar masalahnya adalah sistem ekonomi kapitalisme yang menempatkan modal sebagai pusat kekuasaan, memfasilitasi monopoli oleh korporasi terhadap lahan, sumber daya dan menelantarkan potensi rakyat. Begitu juga ketidakberpihakan negara dalam kebijakan anggaran.
“Negara mengalokasikan anggaran besar untuk proyek-proyek prestisius seperti IKN dan KCIC, namun abai pada pemberdayaan UMKM, pendidikan vokasional, dan penciptaan lapangan kerja berbasis komunitas,” tuturnya.
Tak hanya itu, mereka juga menambahkan bahwa kebijakan ketenagakerjaan juga dinilai tidak adaktif teradap tuntutan zaman. Padahal, berdasarkan data World Economic Forum (2023), sekitar 60% pekerjaan masa depan akan berbasis teknologi, kreativitas, dan kewirausahaan.
“Namun sistem pendidikan kita belum sepenuhnya menjawab kebutuhan itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Krisis Industri dan Invasi Produk Impor nasional pun turut diperparah oleh gelombang produk impor murah, terutama dari Tiongkok sejak pandemi COVID-19.
“Per Mei 2024, KADIN mencatat lebih dari 7.000 UMKM di sektor manufaktur berhenti beroperasi, terutama karena mahalnya bahan baku dan tekanan pajak yang tinggi,” tambahnya.
Dalam sistem Islam, beber HILMI, laki-laki secara syar’i berkewajiban mencari nafkah, negara berkewajiban langsung menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja.
“Dalam sistem Islam, pengangguran bukan sekadar masalah statistik, tetapi merupakan kegagalan negara dalam memenuhi amanatnya sebagai ra’in (pengurus urusan rakyat),” tegas HILMI memaknai QS al-Baqarah [2]: 233 dan hadits Nabi Muhammad SAW tentang peran pemimpin.
HILMI menyampaikan bahwa negara dalam Islam memiliki tanggung jawab langsung menjamin tersedianya pekerjaan bagi setiap warga. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Imam (khalifah) adalah pemelihara rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Langkah Strategis
Sebagai langkah strategis, negara diwajibkan membuka lahan-lahan mati (ihya’ almawat), menghidupkan pertanian rakyat, dan memfasilitasi industri berbasis potensi lokal.
Menurut HILMI, negara juga harus membangun ekosistem inovatif berbasis nilai Islam, di antaranya:
Pertama, pengembangan ekonomi digital syariah, seperti marketplace halal, fintech syariah, dan platform AI Islam. Kedua, inkubator wirausaha, yang menghubungkan inventor, investor, dan entrepreneur dengan modal tanpa riba dan akses pasar.
Ketiga, pertanian urban dan industri desa, guna mengubah desa menjadi pusat produksi lokal yang mandiri. Keempat, koperasi syariah berbasis wakaf produktif, untuk menciptakan distribusi kerja dan pendapatan secara adil.
Selain itu, HILMI menyatakan, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam Islam adalah milik umum dan tidak boleh dimonopoli.
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi),” kutip HILMI dari hadis riwayat Abu Dawud.
Dari sisi pembiayaan, sistem Islam tidak mengenal pajak tetap yang membebani rakyat. Pendapatan negara bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, dan pengelolaan kekayaan umum.
“Ini memungkinkan negara memberikan pendidikan dan kesehatan secara gratis serta menciptakan lapangan kerja produktif tanpa membebani rakyat dengan pajak konsumtif,” jelas mereka.
Memberantas Distorsi
Lebih lanjut, HILMI menegaskan bahwa negara Islam berkewajiban memberantas seluruh distorsi ekonomi yang merusak struktur dan nilai masyarakat. Di antaranya:
Pertama, riba dan pinjol berbunga. Pinjaman online berbasis bunga adalah bentuk riba modern yang harus dihapuskan secara sistemik. Kedua, perjudian digital, termasuk slot online, trading palsu, dan tebak skor yang merusak generasi.
Ketiga, pornografi dan prostitusi digital. Negara wajib memblokir dan menindak tegas platform yang mewadahi praktik tersebut. Keempat, monopoli dan penimbunan. “Siapa yang melakukan penimbunan, maka ia telah berdosa” (HR Muslim).
Kelima, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pelaku KKN akan dikenai sanksi ta’zir berat dan pelarangan jabatan seumur hidup.
“Semua distorsi ekonomi tersebut bukan hanya merusak distribusi kekayaan, tetapi juga menghancurkan struktur moral, sosial, dan masa depan generasi,” tegas HILMI.
Mengakhiri pernyataannya, HILMI menekankan, hanya sistem Islam yang memiliki perangkat hukum, moral, dan kelembagaan untuk menuntaskan akar pengangguran secara menyeluruh.
“Kini saatnya umat Islam mendorong terwujudnya tatanan yang menyejahterakan berdasarkan wahyu, bukan hawa nafsu segelintir elite. Tatanan ini hanya bisa terwujud melalui sistem Islam yang kaffah, di bawah naungan Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah,” tutup HILMI.[] Lukman Indra Bayu
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat