Kesepakatan Trump-Prabowo, UIY: Indonesia Lemah dalam Negosiasi

MediaUmat – Merespons Kesepakatan Tarif Trump-Prabowo yang cenderung merugikan Indonesia dan menguntungkan Amerika Serikat, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menilai Indonesia lemah dalam negosiasi.
“Nah, jadi dari sini, tidak salah kalau kemudian orang mengatakan bahwa ini adalah fakta di mana kita ini mengalami apa yang disebut kelemahan di dalam negosiasi,” ujarnya dalam Fokus Reguler: Negosiasi Tarif: Indonesia Kalah, AS Menang Banyak? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (20/7/2025).
Menurutnya, kesepakatan ini semacam unfair playing field, dua pemain itu bertanding di area yang tidak setara.
“Jadi, Indonesia itu lebih banyak nurut daripada dia menentukan arah sendiri, dan ini pula saya kira yang penting diperhatikan,” ungkapnya.
Dari kesepakatan ini, UIY memandang begitu mahal harga yang harus dibayar untuk Indonesia mendapatkan pengurangan bea masuk ekspor dari 32 menjadi 19 persen. Karena, produk AS yang masuk Indonesia 0% alias bebas tarif dan bebas hambatan nontarif
Karena, jelas UIY, itu hanya tarif saja, sementara nontarif juga dibebaskan. Itu artinya, akan terjadi banjir produk Amerika ke Indonesia. Itu akan terjadi apa yang disebut premature deindustrialization (deindustrialisasi prematur -kondisi suatu negara mengalami penurunan kontribusi sektor industri manufaktur terhadap perekonomian jauh lebih awal dibanding negara-negara maju sebelumnya).
“Jadi deindustrialisasi prematur, mengapa? Karena Indonesia ini sedang bergerak menuju negara industri,” ucapnya.
UIY menjelaskan, makin banyak produk-produk manufaktur dari Indonesia, tetapi nilai tambahnya masih kecil oleh karena barang-barang yang relatif sederhana, seperti alas kaki, kemudian produk tekstil, kemudian produk pangan.
“Itu masih sederhana,” tandasnya.
Bandingkan, ajak UIY, dengan produk-produk manufaktur dari AS yang nilai tambahnya itu sangat besar.
“Dulu Habibi (Menristek di era Orde Baru), kan berusaha untuk membangun industri pesawat terbang, supaya bisa mendapatkan barang-barang dari luar itu, dengan nilai tukar yang besar melalui industri aeronautika itu. Tapi kan, itu kemudian berhenti atau dihentikan di tengah jalan,” ungkapnya.
Menurutnya, sekarang ini Indonesia sedang bergerak menuju usaha untuk menjadi negara industri. Tetapi dengan kebijakan 0 bea masuk itu akan membuat apa yang tadi disebut deindustrialisasi prematur.
“Akan ada banyak industri yang terpaksa mungkin harus berhadapan, head-to-head, dengan barang-barang produk dari Amerika yang jika dengan bea masuk 0% itu mungkin jatuhnya bisa lebih murah,” jelasnya.
Kalau lebih murah, UIY memprediksi, maka konsumen di Indonesia juga akan memilih barang yang kualitasnya lebih bagus dan lebih murah. Dan itu pasti akan mengancam industri di dalam negeri.
“Jadi, ini bayarannya itu sangat mahal. Memang Kita belum tahu, ini nanti akan menjadi catatan faktual berapa nilai ekspor dan impor kita, selepas perjanjian ini. Apakah dengan bea masuk 19% itu bisa mendorong ekspor yang lebih besar produk Indonesia ke Amerika, juga apakah itu akan cukup berimbang dengan derasnya barang-barang impor dari Amerika,” pungkasnya.[] ‘Aziimatul Azka
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat