Pencalonan Zohran Mamdani: Ilusi Representasi Muslim dalam Sistem Sekuler

 Pencalonan Zohran Mamdani: Ilusi Representasi Muslim dalam Sistem Sekuler

Zohran Mamdani, anggota Majelis Negara Bagian New York dan sosialis demokratik yang berasal dari keluarga Muslim, resmi mengumumkan pencalonannya sebagai Wali Kota New York. Pengumuman ini disambut sebagian kalangan Muslim Amerika sebagai tonggak “kemajuan representasi politik umat Islam” di Barat. Namun, di balik euforia simbolik ini, tersembunyi persoalan mendasar yang jauh lebih penting: keterlibatan Muslim dalam sistem kufur demokrasi.

Mamdani mengusung agenda-agenda progresif khas politik sayap kiri Amerika: perumahan terjangkau, layanan kesehatan publik, reformasi kepolisian, serta dukungan bagi komunitas imigran. Salah satu program kontroversialnya adalah usulan investasi senilai 65 juta dolar untuk memperluas layanan kesehatan publik, termasuk perawatan transisi gender bagi warga New York — sebuah kebijakan yang secara terang-terangan bertentangan dengan syariat Islam.

Ini menunjukkan bahwa meskipun Mamdani berlatar belakang Muslim, pijakan politiknya bukanlah Islam, melainkan ideologi liberal sekuler yang menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Dalam sistem seperti ini, nilai-nilai Islam dikompromikan atau bahkan ditinggalkan demi meraih simpati publik dan kelayakan elektoral.

Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa keikutsertaan umat Islam dalam sistem politik sekuler tidak pernah menghasilkan perubahan mendasar bagi kaum Muslim. Dari Obama hingga Biden, janji keadilan dan toleransi hanya menjadi retorika yang menutupi dominasi sistemik, intervensi luar negeri, dan kriminalisasi Islam di dalam negeri. Kini, Mamdani tampil dengan wajah baru—tetapi tetap dalam wadah lama yang rusak dan menyesatkan.

Lebih dari sekadar keterlibatan personal, pencalonan ini mencerminkan problem serius dalam cara pandang sebagian umat terhadap politik. Mereka mengira bahwa dengan masuk ke dalam sistem demokrasi, umat Islam dapat memengaruhi kebijakan dan memperjuangkan hak-haknya. Padahal, sistem ini telah dibangun di atas asas pemisahan agama dari kehidupan, dan secara struktural menolak penerapan syariat Islam.

Islam tidak memandang politik sebagai alat berkompromi dengan kebatilan, melainkan sebagai aktivitas mengurusi urusan umat berdasarkan hukum Allah SWT. Kepemimpinan dalam Islam bukanlah sarana mengejar kekuasaan dalam sistem thaghut, melainkan amanah untuk menerapkan syariat dalam seluruh aspek kehidupan. Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah menempuh jalan reformis dalam sistem kufur Quraisy, melainkan menyerukan perubahan sistemik yang berujung pada tegaknya Daulah Islam. [] AF

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *