Pengamat: Jika Isu Matahari Kembar itu Nyata, Tentu Berbahaya!

MediaUmat.info – Analis Politik Media dari Pusat Kajian dan Analisa Data (PKAD) Hanif Kristianto menyatakan jika isu matahari kembar (kepemimpinan ganda Presiden Prabowo dan mantan presiden Jokowi) itu nyata, tentunya berbahaya.
“Nah, jadi kalaulah dibilang matahari kembar itu isu nyata dan sebetulnya berbahaya ya kalau terjadi,” ungkapnya dalam Kabar Petang: Ada “Matahari Kembar”? Sabtu (3/5/2025).
Karena, sebut Hanif, adanya matahari kembar akan ada loyalitas ganda di kabinet.
“Kita kan tahu ya, oh ini dulu menterinya Pak Jokowi, sekarang ikut Pak Prabowo. Ada juga potensi tarik-menarik kebijakan antara barisan Pak Jokowi dan juga barisan Pak Prabowo. Nah, ini juga nampak,” bebernya.
“Sekali lagi, kalau kita cermati, saya membaca banyak berita terkait dengan memanggil bos kepada mantan presiden Pak Jokowi di kediamannya, ini menjadikan dilematis bernegara di negeri kita ini,” imbuhnya.
Kalau ini tidak segera diselesaikan dengan pembagian otoritas yang tegas, jelas Hanif, tentu isu matahari kembar ini bisa membuat rezim Prabowo tidak berjalan efektif.
Kemudian, sambung Hanif, bisa jadi membuka peluang konflik internal serta menurunkan kepercayaan publik.
Sebetulnya, hemat Hanif, penguasa negeri ini adalah pewaris dari permasalahan penguasa sebelumnya.
“Jadi siapa pun yang nanti akan menjadi presiden atau penguasa di Indonesia, maka harus siap-siap mewarisi masalah sebelumnya,” ucapnya.
Tuntutan Gibran Diberhentikan
Selain itu, imbuh Hanif, muncul pula isu tuntutan purnawirawan prajurit TNI, agar Gibran diberhentikan sebagai wakil presiden.
“Tidak adanya kinerja-kinerja dari wakil presiden, meskipun wakil presiden tupoksi tetap meng-handle negara ketika misal presiden ke luar negeri atau yang lain,” ujarnya.
Jelas Hanif, akan muncul proses pemakzulan kalau partai-partai itu satu suara, tapi kalau tidak satu suara, maka sangat berat secara konstitusional.
Namun, Hanif menilai, isu ini akan terus hidup dan dipakai sebagai alat tekanan terhadap stabilitas politik Gibran dan digunakan sebagai tawar-menawar dalam politik nasional. Semakin luas pembahasan soal pemakzulan ini bisa membuka mata rakyat akan tiga hal.
Pertama, demokrasi di Indonesia ini hanyalah sebuah jargon atau janji-janji. Kedua, institusi negara harus lebih kuat dan bebas dari intervensi kekuasaan dinasti atau keluarga atau orang lain, baik itu aseng, asing, maupun oligarki. Ketiga, ada kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem bernegara dan juga sistem tata kelola pemerintah.
Nah, ungkap Hanif, rakyat harus paham bahwa isu ini akan menjadi katalis kesadaran politik baru, terutama di kalangan generasi muda dan kelas menengah yang terdidik.
Sekali lagi, tegas Hanif, esensi penting bagi rakyat adalah negeri ini kembali kepada politik Islam yang berasaskan Al-Qur’an yang bermakna mengurusi urusan umat dengan syariat Islam secara kaffah.
“Jadi, menghilangkan kepentingan-kepentingan duniawi, lebih kepada kepentingan ngurusi urusan rakyat. Karena yang ingin tercapai adalah ridha Allah dan juga kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan di akhirat,” pungkasnya.[] Novita Ratnasari
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat