Kemunduran Kapitalisme dan Kehancurannya yang Sudah di Depan Mata

Kekacauan politik, ekonomi, dan sosial saat ini di dunia menandakan bahwa perubahan besar akan segera terjadi. Salah satu perubahan besar ini adalah runtuhnya peradaban Barat sebagai sistem global yang didasarkan pada ideologi kapitalisme. Kemerosotan ekonomi global yang menimbulkan krisis diyakini akan mempercepat keruntuhan sistem ini, apalagi krisis tidak hanya sebatas aspek ekonomi saja, tetapi juga meliputi krisis kepercayaan, politik, dan sosial.
Peradaban hanya akan bertahan dan terus eksis apabila mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia. Namun apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu peradaban yang banyak menimbulkan kerugian dan penderitaan, maka peradaban tersebut akan terabaikan dan ditinggalkan, kemudian pada akhirnya akan runtuh dan lenyap.
Buku The Self-Devouring Society: Capitalism, Narcissism, and Self-Destruction (Masyarakat yang Melahap Diri Sendiri: Kapitalisme, Separatisme, dan Disintegrasi Diri) oleh Anselm Jappe (2022) memberikan gambaran yang jelas tentang bahaya kapitalisme. Buku ini menelusuri bagaimana kapitalisme kontemporer mendorong masyarakat ke arah penghancuran diri. Jappe menggunakan mitos Yunani tentang Erysichthon, seorang raja yang sangat lapar hingga ia memakan dirinya sendiri. Mitos ini merupakan metafora tentang bagaimana kapitalisme mengubah individu menjadi separatis dan mendorong perilaku yang menghancurkan tatanan sosial.
Shoshana Zuboff (2019) memberikan analisis tentang bahaya kapitalisme dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (Era Kapitalisme Pengawasan: Perjuangan untuk Masa Depan Manusia di Batas Kekuasaan Baru). Buku ini mengungkap berbagai fakta tentang eksploitasi hak-hak individu oleh korporasi kapitalis raksasa. Para penguasa dan kapitalis bekerja sama untuk mengumpulkan keuntungan ekonomi demi keuntungan mereka sendiri, bukan untuk keuntungan rakyat.
Peradaban Barat, dengan sistem kapitalisnya dan di bawah kepemimpinan Amerika Serikat, telah menciptakan banyak penderitaan dan bencana manusia akibat sistem yang mereka terapkan. Kapitalisme global telah terbukti gagal dalam mengatasi berbagai permasalahan kemanusiaan, sehingga menimbulkan berbagai kerugian dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, moral, politik, dan lain-lain.
Kerusakan Aspek Ekonomi
Alasan utama kegagalan kapitalisme sekuler sebagai suatu ideologi adalah kontradiksinya dengan sifat manusia dan akal sehat. Ideologi ini melihat manusia sebagai pusat alam semesta. Pada akhirnya, sistem ekonomi kapitalis mengarah kepada eksploitasi dan pemisahan manusia, yang berujung pada kepentingan pribadi.
Peradaban kapitalisme telah terbukti menyebabkan banyak bencana dan penderitaan manusia. Salah satu masalah utama adalah makin lebarnya kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Namun, kesenjangan pendapatan ini pasti akan menimbulkan tekanan sosial dan politik yang mengancam stabilitas sosial.
Misalnya, seperti yang tercantum dalam laporan organisasi Inggris Oxfam, “Saatnya Peduli: Pekerjaan Perawatan yang Tidak Dibayar dan Krisis Ketimpangan Global,” kesenjangan ekonomi telah tumbuh tidak terkendali. Sebanyak 2.153 miliarder dunia memiliki kekayaan lebih banyak daripada gabungan kekayaan 4,6 miliar orang, sementara 1% populasi dunia yang terkaya memiliki lebih dari dua kali lipat total kekayaan semua penduduk dunia (oxfam.org, 2020).
Menurut studi tahun 2020 oleh Credit Suisse, 1% populasi terkaya di dunia memiliki hampir 45% dari total kekayaan dunia. Dalam konteks negara-negara Barat, sebagian besar kekayaan ini terpusat di tangan orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar. Fakta-fakta ini memperjelas bahwa kapitalisme telah gagal mencapai kesejahteraan dan keadilan ekonomi, tetapi malah menimbulkan banyak penyimpangan dan ketimpangan yang berujung pada penderitaan.
Jajak pendapat Globe pada bulan Desember 2023 menunjukkan bahwa 68% warga Amerika meyakini situasi ekonomi makin memburuk, dengan 45% menggambarkannya sebagai “buruk”, 33% menggambarkannya sebagai “rata-rata”, dan hanya 19% yang menggambarkannya sebagai “baik”.
Banyak peneliti telah melakukan studi tentang kesenjangan ekonomi yang semakin besar di negara-negara Barat. Di antara mereka adalah Thomas Piketty (2017), yang menerbitkan hasil studinya dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century (Modal di Abad ke-21). Buku ini mengkritik kesenjangan ekonomi yang makin besar akibat sistem kapitalis. Piketty menganalisis pertumbuhan ekonomi jangka panjang, distribusi kekayaan, dan implikasi sosial dari kesenjangan tersebut.
Kerusakan Aspek Sosial
Ideologi kapitalisme sekuler yang berdasarkan liberalisme (kebebasan) telah menyebabkan merebaknya penyakit sosial, merebaknya tindak kejahatan, dan terulangnya kembali tindak kejahatan tersebut tanpa ada solusi. Di antara penyakit sosial ini adalah gaya hidup seks bebas, yang telah merusak tatanan sosial masyarakat. RAIIN (Rape, Abuse and Incest National Network) merilis pernyataan bahwa setiap 107 detik seseorang mengalami pelecehan seksual di Amerika Serikat. Statistik menunjukkan bahwa 293.000 orang mengalami kekerasan seksual setiap tahun di negara ini (www.rainn.org, 2023).
Tingginya angka bunuh diri juga mencerminkan kondisi sosial yang sakit. Statistik yang dirilis oleh Centers for Disease Control and Prevention (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) dalam laporan penelitiannya yang dikeluarkan pada 9 Februari 2023, mengungkapkan bahwa jumlah bunuh diri di antara orang Amerika pada tahun 2021 meningkat menjadi 48.183 kasus (www.cdc.gov). Angka ini setara dengan 14,2 kasus per 100.000 warga AS. Studi tersebut menunjukkan bahwa penyebab utama bunuh diri di Amerika Serikat meliputi memburuknya hubungan keluarga, pekerjaan, masalah keuangan, kesehatan mental, dan lain-lain.
Masalah nihilisme di Amerika Serikat terus meningkat. Menurut laporan kalender tahunan nihilisme 2023, ada 20 orang tunawisma untuk setiap 10.000 orang di seluruh negeri. Negara bagian dengan tingkat tertinggi adalah Washington, D.C. (72 per 10.000), New York (52 per 10.000), dan Vermont (51 per 10.000).
Tingkat kekhawatiran tentang kejahatan dan kekerasan di Amerika Serikat pada tahun 2022 berada pada level tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil kajian Gallup yang dirilis pada April 2022 menunjukkan bahwa 80% orang Amerika mengatakan bahwa mereka khawatir tentang kejahatan (www.gallup.com). Menurut basis data yang dikelola oleh kelompok penelitian nirlaba Arsip Kekerasan Senjata, Gun Violence Archive (GVA), telah terjadi sedikitnya 130 penembakan massal di Amerika Serikat.
Tingginya tingkat masalah sosial dan kejahatan merupakan masalah yang terus berlanjut dalam sistem kapitalis. Hukum yang berdasarkan hukum manusia tidak memberikan solusi mendasar. Fakta-fakta tentang kerusakan ini menunjukkan bahwa peradaban kapitalisme sedang sakit parah.
Kerusakan Aspek Politik
Demokrasi adalah sistem politik kapitalis yang berdasarkan prinsip sekularisme. Secara global, demokrasi telah dipromosikan sebagai sistem terbaik. Dikatakan bahwa kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan akan tercapai melalui demokrasi. Diklaim pula bahwa sistem demokrasi dapat secara otomatis menjamin distribusi ekonomi dan pergantian kekuasaan secara tertib dan damai.
Namun kenyataanya bertentangan dengan klaim ini. Faktanya, orang-orang yang mengendalikan sistem demokrasi adalah elite politik yang mengaku mewakili rakyat. Namun, mereka hanya mewakili partai mereka atau kapitalis yang mendukung mereka. Buktinya, banyak kebijakan, undang-undang, dan peraturan yang mereka buat justru merugikan rakyat. Akibatnya, hanya segelintir orang saja – elite penguasa, aktor, partai, dan kapitalis – yang menikmati kemakmuran dan kemewahan, sedangkan mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan. Tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam hukum, tetapi hukum menjadi keras terhadap orang miskin dan lunak terhadap orang kaya.
Dalam demokrasi, sistemnya jelas bias ke arah kapitalisme. Dominasi yang dilakukan oleh kapital melalui mekanisme demokrasi menyebabkan merebaknya politik keuangan, penyuapan, aliansi korup, dan pengkhianatan. Kapitalis dan korporasi tidak hanya mengendalikan ekonomi, tetapi juga ikut campur dalam politik dan kekuasaan.
Pemilik perusahaan mengendalikan pemerintahan dan kebijakannya. John Perkins (2005) dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man (Pengakuan Seorang Perusak Ekonomi) menyebut sistem ini sebagai “korporatokrasi,” sebuah sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar. Akibatnya, kebijakan dan undang-undang negara menjadi alat yang melayani kepentingan korporasi, bukan kepentingan rakyat.
Fakta-fakta tentang kerusakan yang disebabkan oleh demokrasi ini juga telah dicatat oleh banyak ahli. Daniel Ziblatt and Steven Levitsky (2018) menulis tentang hal itu dalam How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati). Sementara David Runciman (2018) menulis tentang hal itu dalam bukunya How Democracy Ends (Bagaimana Demokrasi Berakhir). Kedua buku ini menelusuri bagaimana demokrasi dapat merosot dan mati. Mereka menganalisis peran kekuasaan, korupsi, ketidakpuasan rakyat, dan perubahan politik yang dapat menyebabkan runtuhnya sistem demokrasi.
Kekuasaan dalam Kapitalisme
Dominasi yang dilakukan oleh kapital melalui mekanisme demokrasi menyebabkan merebaknya suap, aliansi yang korup, dan pengkhianatan. Kapitalis dan korporasi tidak hanya mengendalikan ekonomi, tetapi juga ikut campur dalam politik dan kekuasaan, membentuk jaringan oligarki. Oleh karena itu, mereka dapat memengaruhi tindakan dan kebijakan pemerintah.
Jeffrey A. Winters (2011) dalam bukunya Oligarchy (Oligarki) menjelaskan interaksi oligarki dalam politik demokrasi. Winters menawarkan analisis tentang bagaimana kekayaan berubah menjadi kekuasaan politik dan kemudian menjadi oligarki, yaitu pemerintahan di mana kekuasaan politik dipegang oleh segelintir elit yang memiliki kekuatan ekonomi.
Dampak Negatif bagi Dunia Islam
Politik demokrasi pada kenyataannya telah menjadi alat kolonial (imperialisme baru) untuk mengendalikan negeri-negeri Islam. William Blum (2013) menyoroti dalam bukunya America’s Deadliest Export: Democracy (Ekspor Amerika Paling Mematikan: Demokrasi) bahwa demokrasi adalah alat bagi Amerika dan sekutunya untuk mengendalikan seluruh dunia, termasuk dunia Islam. Padahal, negeri-negeri Islam saat ini sedang dalam kondisi terjajah, lemah, terbelakang, dan tereksploitasi, sebagai akibat imperialisme baru.
Melalui demokrasi, hukum dan perundang-undangan di negeri Islam tidak lagi terikat dengan syariah. Hal ini memungkinkan Barat memengaruhi proses pembuatan hukum untuk memajukan kepentingan neo-imperialisme. Dengan menggunakan media, atas nama demokrasi, Barat dapat dengan mudah memengaruhi opini publik dalam memilih pemimpin. Barat mempromosikan untuk memilih pemimpin yang menerima ide-ide mereka, seperti sekularisme, liberalisme, hak asasi manusia, kesetaraan gender, komunitas LGBTQ+, dan sebagainya. Akibatnya, ide-ide ini memengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemimpin terpilih. Artinya, dominasi korporasi juga akan memengaruhi siapa yang menjadi pemimpin suatu negeri, dan apa kebijakan negeri tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menjadi alat bagi imperialisme Amerika untuk melaksanakan rencana politiknya di seluruh dunia. Inilah yang terjadi dalam serangan AS terhadap Irak dan Afghanistan. Perserikatan Bangsa-Bangsa menutup mata terhadap pembantaian kaum Muslim di Irak, Palestina, Rohingya, India, dan Uighur di China. Dalam kebanyakan kasus, Perserikatan Bangsa-Bangsa membatasi dirinya untuk menyatakan keprihatinan tentang berbagai pembantaian tanpa mengambil tindakan nyata untuk menghentikannya. Misalnya, ratusan resolusi telah dikeluarkan terkait masalah Palestina, namun resolusi-resolusi ini belum menyelesaikan masalah, namun semua itu justru semakin memperburuk penderitaan rakyat Palestina.
Jalan Perubahan dalam Perspektif Islam
Isu perubahan telah menjadi sangat populer di negeri-negeri Islam, termasuk yang disebut “Arab Spring (Musim Semi Arab)” yang pada akhirnya mengarah pada hasil yang sama: penggantian individu dalam sistem politik. Sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat tetap sama.
Tidak ada yang berubah, kecuali perubahan orang-orang dalam sistem politik. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam khususnya untuk memahami persoalan perubahan, agar umat Islam tidak terus-menerus menjadi sasaran propaganda perubahan.
Bila ditelusuri lebih lanjut, ada lima kunci utama yang menjadi faktor krusial untuk meraih perubahan nyata ke arah tegaknya pemerintahan Islam. Kunci-kunci itu adalah: kesadaran umat terhadap realitas kerusakan yang terjadi saat ini, kesadaran terhadap realitas yang ingin dicapai (realitas pengganti), kesadaran terhadap cara perubahan yang benar dan tepat, eksistensi partai politik Islam yang berideologi dan bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan perubahan, dan dukungan Ahlun Nushrah.
Kesadaran akan Realitas yang Buruk
Umat Islam yang bergairah dan bersemangat terhadap agamanya menghendaki perubahan, sebab telah menyadari betapa buruknya realitas saat ini. Faktanya, negeri-negeri Islam masih tunduk pada dominasi kolonial kekuatan Barat, baik melalui kekuatan militer maupun dominasi ekonomi dan politik. Termasuk pendudukan keji dan brutal atas tanah Palestina yang diberkati oleh entitas Yahudi.
Tunduknya negeri-negeri Islam terhadap penjajahan tidak dapat dilepaskan dari runtuhnya Khilafah Utsmani pada tahun 1924. Pasca runtuhnya Khilafah, dunia Islam yang sebelumnya membentang luas, terpecah-pecah menjadi wilayah-wilayah kecil yang dikuasai oleh penjajah. Sekarang negeri-negeri Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara lemah. Oleh karena itu, realitas buruk di dunia Islam saat ini adalah karena berlanjutnya penjajahan yang dimulai sejak runtuhnya Khilafah Islam.
Kesadaran akan Realitas Ideal
Kesadaran terhadap realitas ideal yang ingin dicapai kaum Muslim akan mendorong mereka untuk mewujudkannya. Perubahan harus diarahkan untuk menghilangkan akar krisis yang menyebabkan realitas buruk. Yaitu menghilangkan dominasi kekuatan kolonial dan ideologi kapitalisnya atas negeri-negeri Islam.
Oleh karena itu, yang menjadi masalah utama (qadhiyah mashiriyah) bagi umat Islam saat ini adalah tegaknya kembali Khilafah Islam untuk melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh. Tanpa Khilafah, kaum Muslim di seluruh dunia akan tetap menjadi sasaran kolonialisme, ketidakadilan, dan penganiayaan. Dengan Khilafah, umat Islam akan mampu menyatukan kekuatannya menjadi satu kekuatan. Khilafah ini akan menghapus segala bentuk ketidakadilan dan penindasan oleh kekuatan kolonial saat ini.
Kesadaran akan Cara yang Benar dan Tepat untuk Perubahan
Perubahan yang dilakukan oleh umat Islam harus didasarkan pada pendekatan yang benar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Ada dua hal penting yang patut menjadi acuan bagi upaya umat Islam saat ini:
Pertama: Rasulullah SAW mengkader orang-orang yang bersedia menjadi tulang punggung perubahan. Cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk mengubah kerusakan masyarakat jahiliyah adalah melalui dakwah. Kegiatan advokasinya terorganisasi dengan baik. Misalnya, beliau tidak membatasi diri hanya dengan mengajak mereka memeluk Islam dan mengajarkan Al-Qur’an. Melainkan, beliau juga menghimpun mereka ke dalam satu kelompok atau partai (blok) yang beliau sponsori dan pimpin.
Kedua: Tujuan perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah mengubah penguasa dan sistem secara bersamaan. Hal ini tampak jelas dalam seruan beliau yang tidak hanya sebatas mengajak orang-orang kafir untuk memeluk Islam. Tetapi juga bertujuan untuk mendirikan masyarakat Islam, yakni mengganti sistem pra-Islam (jahiliyah) dengan sistem Islam. Terbukti setelah hijrah, beliau mendirikan masyarakat Islam di dalam negara Islam di Madinah Al-Munawwarah.
Melalui entitas negara, Rasulullah SAW sebagai pimpinannya mampu melaksanakan hukum-hukum Islam (syariah). Beginilah seharusnya umat Islam mengadopsi cara untuk mencapai perubahan, yaitu perubahan yang bertujuan untuk membangun entitas politik, Khilafah Islam. Dengan tegaknya Khilafah, maka masyarakat Islam akan tegak kembali, yaitu masyarakat yang menerapkan hukum-hukum Islam (syariah) secara paripurna dan menyeluruh.
Adanya Partai Politik Islam yang Berupaya Menegakkan Khilafah
Perjuangan untuk mengembalikan Khilafah penuh dengan banyak rintangan dan tantangan. Negara-negara kolonial dan antek-anteknya akan berusaha menghalanginya. Karena itu, kaum Muslim harus berusaha mewujudkan perubahan ini secara terorganisasi dan kolektif, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Akan tetapi, aktivitas yang dilakukan oleh partai atau kelompok ini harus bersifat politis, karena mendirikan Khilafah adalah aktivitas politik.
Di antara kegiatan politik ini adalah memerangi gagasan-gagasan kufur di masyarakat dan mengungkap rencana-rencana yang mengancam umat. Partai ini harus terlibat dalam perjuangan politik, yaitu perjuangan politik untuk melawan penjajahan di segala bidang, baik ekonomi, sosial, politik, militer, budaya, dan lainnya.
Mendapatkan Dukungan dari Ahlun Nushrah
Keberhasilan partai politik dan kadernya dalam meraih dukungan masyarakat bagi tegaknya negara yang menerapkan syariat Islam secara komprehensif, akan melemahkan legitimasi penguasa. Pada saat itu, perlu untuk memperoleh dukungan dari Ahlun Nushrah untuk mengambil alih kekuasaan (mengambil alih pemerintahan).
Rasulullah SAW mencari dukungan dari Ahlun Nushrah selama tiga tahun, dimana beliau mendatangi satu suku yang kuat ke suku yang kuat lainnya, sambil meminta dukungan mereka agar beliau mampu meraih kekuasaan dan menerapkan Islam. Rasulullah SAW telah mengajak banyak suku untuk melaksanakan misi ini, diantaranya suku Kindah, Banu Hanifah, Banu Amir bin Sha’sha’ah, Kilab, Bakr bin Wa’il, Hamdan, dan lain-lain.
Rasulullah SAW menyeru mereka semua kepada iman dan memberikan pertolongan kepadanya. Pada saat ini, Ahlun Nushrah memegang semua kekuasaan, termasuk kekuatan militer. Sehingga apabila dukungan dari Ahlun Nushrah sudah diperoleh, maka peralihan kekuasaan akan terjadi sebagaimana yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika mendirikan negara Islam di Madinah.
Kemungkinan Kembalinya Khilafah Islam
Ideologi Islam bertentangan dengan kapitalisme dan sosialisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, masyarakat, aparatur negara, hukum, dan lainnya. Perbedaan ini tentu akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap pemikiran dan nilai-nilai Islam dibandingkan ideologi-ideologi lainnya.
Saat ini, kelemahan sistem kapitalis tampak jelas, terlihat berada di ambang kehancuran. Dipercayai bahwa ideologi kapitalisme hanya mencoba memperluas eksistensinya. Kekacauan politik global diperkirakan merupakan serangkaian tahap menuju runtuhnya ideologi kapitalisme.
Dalam bukunya PostCapitalism: A Guide to Our Future (Pasca-Kapitalisme: Panduan Menuju Masa Depan Kita), Paul Mason (2015) berpendapat bahwa kapitalisme sedang menuju kehancuran karena kegagalan ekonominya. Mason percaya bahwa runtuhnya kapitalisme akan menjadi perubahan mendasar di dunia, yang mengarah pada lahirnya sistem baru yang disebutnya “kapitalisme baru”.
Dalam konteks peperangan antar-peradaban, lemahnya kapitalisme merupakan tantangan sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan oleh umat Islam, khususnya dalam upaya mengembalikan ideologi Islam dalam ranah kehidupan melalui tegaknya Khilafah. Hal ini tentu saja dikuatkan dengan kesadaran yang semakin meningkat di kalangan umat Islam tentang pentingnya Khilafah Islam.
Jelas pula bahwa kondisi kolonialisme dan kemunduran yang dialami umat Islam saat ini, mengharuskan adanya Khilafah sebagai kekuatan global untuk mewujudkan pembebasan. Sementara rezim-rezim lokal di negeri-negeri Islam memiliki hubungan dekat dengan kekuatan kolonial dan menindas umat Islam. Sehingga fakta-fakta konkret ini akan semakin menguatkan keinginan umat Islam untuk menegakkan kembali Khilafah sebagai kekuatan global dan pelindung umat di tengah masyarakat internasional.
Dunia Membutuhkan Khilafah
Kekuatan utama umat Islam yang tersebar di lebih dari 55 negara adalah adanya satu akidah Islam yang menjadi asas ideologi Islam. Kekuatan ideologi ini, dengan didukung berbagai sumber daya yang dimiliki umat Islam, memberikan peluang besar untuk mendirikan negara kuat di bawah Khilafah. Sejarah telah mencatat, negara Khilafah mampu menjadi titik sentral peradaban dunia, menjadi pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta memiliki kekuatan ekonomi, politik, dan militer di tingkat global.
Dalam bukunya Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilisation from the Past (Sejarah Islam yang Hilang: Mengungkap Kembali Peradaban Islam dari Masa Lalu), Firas Al-Khateeb (2014) secara objektif mengevaluasi peradaban Islam, dengan menyatakan bahwa Islam telah menjadi kekuatan agama, sosial, dan politik selama 1.400 tahun. Firas Al-Khateeb, seorang peneliti dan sejarawan di Universal School in Bridgeview, Illinois, menyajikan gambaran kronologis tentang peran Islam dalam sejarah dunia, dan menyimpulkan bahwa Islam berhasil menyatukan masyarakat dengan keadaan geografis yang beragam menjadi satu kekuatan.
Sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki umat Islam, baik kuantitas maupun kualitasnya, ditambah dengan kekuatan keimanannya, akan semakin memantapkan perjuangan menegakkan negara Khilafah yang penuh rahmat.
Hakikatnya, bahwa perjuangan menegakkan syariah secara kaffah di bawah Khilafah merupakan perjuangan demi perubahan, untuk meraih rahmat dan kedamaian sejati bagi masyarakat, dan untuk mengakhiri penderitaan akibat hegemoni kapitalis global. Ini artinya bahwa dunia benar-benar membutuhkan Khilafah. [] Muhammad K. Shadik
Sumber: Al-Waie (Arab), Edisi: 462, 463, dan 464, Tahun ke-39, Rajab – Sya’ban – Ramadan 1446 H./Januari – Februari – Maret 2025 M.
.Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat