Idul Adha Hanya Manut ke Penguasa Negara Bangsa Itu Tidak Tepat

 Idul Adha Hanya Manut ke Penguasa Negara Bangsa Itu Tidak Tepat

Mediaumat.id – Penetapan Idul Adha yang bersandar pada ketetapan pemerintah negara bangsa, dinilai Cendekiawan Muslim Ustaz Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy tidaklah tepat. “Pendapat seperti ini keliru dan tidak tepat,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (27/6/2023).

Sebab, menurutnya, penetapan dimaksud belum mengakomodir keseluruhan hadits yang berbicara tentang puasa Arafah dan Idul Adha.

Hal ini bisa dilihat dari hadits tentang dua hari raya umat Islam yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari ‘Aisyah ra, terlebih dahulu misalnya. Menurut Ustadz Syamsuddin, peruntukannya memang atas mayoritas kaum Muslim, tetapi tak hanya terbatas pada suatu negara bangsa.

“Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika umat manusia menyembelih kurbannya,” demikian bunyi hadits dimaksud.

“Yang dimaksud ‘mayoritas kaum Muslim’, tidak hanya mayoritas kaum Muslim yang hidup dalam sebuah negara bangsa, nation state,” terangnya, memaknai.

Bahkan, sambungnya, mayoritas kaum Muslim di sini adalah keseluruhan umat Islam yang hidup di bawah kepemimpinan seorang khalifah.

Hanya, sejak tahun 1924, kata Ustadz Syamsuddin, kaum Muslimin tak lagi memiliki pemimpin tunggal (amirul mu’minin) yang bisa menyatukan mereka serta melenyapkan khilaf di tengah-tengah kaum Muslim.

Meski demikian, imbuhnya, ketiadaan khilafah tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk berpuasa dan berhari raya mengikuti mayoritas kaum Muslim, atau mengikuti ketetapan penguasa di masing-masing negara bangsa, tanpa memperhatikan kaum Muslim di negeri-negeri lain.

“Bukankah seluruh kaum Muslim di dunia adalah satu dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain?” lontarnya, menyinggung kembali hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari ‘Aisyah ra sebelumya.

Terlebih kata al-naas, yang berarti manusia, menurut Ustadz Syamsuddin, termasuk lafaz umum, yaitu seluruh manusia yang tidak dibatasi dengan wilayah, bangsa, ras, negara, dan warna kulit tertentu.

Pendapat Rajih

Adalah al-qawa’id al-fiqhiyah, kaidah-kaidah yang mencakup sebagian besar cabang masalah-masalah fikih yang dapat dipedomani dalam penyelesaian hukum berbagai peristiwa yang tetap muncul dalam masyarakat.

Di dalamnya, terdapat kaidah ke-65 yang berbunyi, ‘Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunya selama masih memungkinkan’.

Ini berarti, sambung Ustadz Syamsuddin, hadits tentang Idul Adha yang di dalamnya terdapat puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah, dan puasa Arafah ketika pada hari yang sama jemaah haji sedang wukuf di Padang Arafah, bisa dipadukan.

“Jika puasa Arafah dimaknai puasa tanggal 9 Dzulhijjah, tanpa harus dikaitkan dengan wukufnya manusia di Arafah, niscaya ia akan menelantarkan hadits-hadits yang mengkaitkan puasa 9 Dzulhijjah dengan wuquf Arafah,” terangnya.

Adapun, jika puasa Arafah dimaknai dengan puasa tanggal 9 Dzulhijjah saat jemaah haji sedang wuquf di Arafah, sambungnya, maka kompromi seperti ini bisa memadukan dalil-dalil yang berbicara tentang puasa Arafah, 9 Dzulhijjah, dsb.

Sehingga puasa Arafah dan Idul Adha wajib ditetapkan berdasarkan manasik haji di Makkah, dan hal itu mengikat seluruh kaum Muslim di seluruh dunia tanpa terkecuali.

“Inilah pendapat yang lebih kuat, mengumpulkan semua hadits, menyatukan kaum Muslim, serta tidak memperkokoh negara-negara bangsa yang dilarang di dalam Islam. Serta mengarahkan umat Islam untuk mewujudkan kembali Khilafah Islamiah yang dipimpin seorang imam atau khalifah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *