Keraguan Tentang Malam Lailatul Qadar

 Keraguan Tentang Malam Lailatul Qadar

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah mendukung Anda. Salah seorang mereka mengatakan bahwa malam Lailatul Qadar adalah malam turunnya al-Quran, dan itu telah berlalu dan tidak ada eksintensi untuk Lailatul Qadar yang diklaim sesuai ucapannya ini. Teks ucapan itu: (“Adapun Lailatul Qadar ini maka sejarah telah mengungkapkan satu kali dan tidak berulang. Jadi itu kadarnya bersandar, yakni posisinya yang istimewa, dari turunnya al-Quran di dalamnya. Allah SWT berfirman:

﴿إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan” (TQS al-Qadar [97]: 1).

Adapun malam-malam lainnya yang secara keliru dihitung sebagai malam Lailatul Qadar maka tidak ada tempat untuknya dari i’râb (ungkapan). Sebab di dalamnya tidak diturunkan al-Quran sehingga dari turunnya ini disandarkan kadar dan posisinya yang khusus itu.

Adapun seandainya mukâbir berkata: “sesungguhnya kita pada faktanya menghidupkan peringatan malam Lailatul Qadar”, selama malam Lailatul Qadar itu tidak berulang, maka kami katakan kepadanya: “supaya kita merayakan malam Lailatul Qadar atau menghidupkannya sebagaimana tuntutan hadis yang diklaim itu, baik apakah kita meyakini bahwa itu malam Lailatul Qadar atau itu adalah peringatan malam Lailatul Qadar, maka harus ada waktu yang satu yang jelas sebagaimana semua ibadah baik puasa, haji, dan shalat, sebab asy-Syâri’ yang Maha Bijaksana, ketika mewajibkan ibadah atau mensunnahkannya, telah menetapkan untuk masing-masing ibadah itu waktu yang jelas dan baku yang di dalamnya tidak ada ruang untuk (menebak). Adapun malam Lailatul Qadar yang diklaim, dalam penentuan waktunya telah dinyatakan hadis-hadis yang banyak, membuatnya sebagai tebakan …).

Kemudian dia menyebutkan hadis Muslim dan menikamnya:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّهَا كَانَتْ أُبِينَتْ لِي لَيْلَةُ الْقَدْرِ، وَإِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِهَا، فَجَاءَ رَجُلَانِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ، فَنُسِّيتُهَا»

“Hai manusia! Sungguh telah dijelaskan kepadaku malam Lailatul Qadar, dan aku keluar untuk memberitahukannya kepada kalian, lalu datang dua orang laki-laki yang bersengketa, setan menyertai keduanya, lalu aku dibuat lupa tentangnya”.

Dan dia mencacat hadis itu!!

Kemudian dia menutup ucapannya ini sebagai berikut: “ringkasnya, menghidupkan malam Lailatul Qadar yang diklaim itu, yang mana Rasul saw sendiri tidak mengetahui waktunya, dan tidak ada pantai yang terhadapnya perahu taklif dapat dilabuhkan, dan menilai orang yang melakukannya dengan dasar iman dan mengharap ridha Allah adalah diampuni dosanya yang terdahulu, adalah ide destruktif, tidak menyebarkan di tengah kaum Muslim kecuali halusinasi, kegilaan dan konsesif dalam agama”, selesai ucapannya.

Berilah pemahaman kepada kami, semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda.

[Nabil Bil’athiy]

 

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya menelaah apa yang Anda nukilkan di dalam pertanyaan Anda tentang seseorang yang mengeluarkan kata-kata buruk seputar malam Lailatul Qadar dan bahwa malam itu telah berlalu dan berakhir …. Dan berikut ini untuk Anda:

Pertama: berkaitan dengan metode pembahasan:

1- Jelas dari teks yang Anda kutipkan bahwa pemilik ucapan itu tidak mendukungnya dengan kaedah ilmiah atau pengetahuan syar’iy apapun, melainkan dia mengacaukan secara acak dan menolak banyak hadis yang shahih dan hasan tanpa alasan yang mengharuskannya kecuali apa yang didiktekan oleh ilusi persepsinya dan dia jadikan itu di dalam pikirannya sebagai hakikat yang dia jadikan pondasi membangun ide dan menolak apa yang terbukti berasal dari Rasulullah  saw.

2- Juga jelas dari pembahasan yang dikutip bahwa dia berusaha untuk menyerang as-sunnah al-muthahharah dan menimbulkan keraguan pada kaum Muslim dalam hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw disertai klaim untuk merujuk kepada al-Quran al-Karim … Dan ini merupakan cara yang sudah dikenal dan diketahui, yaitu cara kaum yang bekerja menghancurkan dan memerangi Islam dengan memerangi as-Sunnah an-Nabawiyyah al-Muthahharah. Padahal as-Sunnah itu menjelaskan untuk al-Quran al-Karim kemujmalannya, mengkhususkan keumumannya, membatasi kemutlakannya, mengaitkan cabang dengan pokoknya … dan sebagainya. Maka tikaman pada as-Sunnah an-Nabawiyyah al-Muthahharah dan menimbulkan keraguan pada buku-buku hadis muktamadah adalah bentuk dari tikaman pada al-Quran dan tikaman pada Islam … Seruan untuk membatasi bersandar kepada al-Quran al-Karim saja adalah seruan yang pada lahirnya rahmat tetapi batinnya azab.

3- Juga jelas dari apa yang dikutip itu adanya upaya menimbulkan keraguan oleh pemilik pendapat itu dalam perkara syar’iy yang sudah diketahui dan diterima di tengah kaum Muslim sejak masa Nabi saw dan para sahabat beliau sampai hari ini. Ini juga merupakan cara yang sudah dikenal yang dijadikan sandaran oleh orientalis kaum kafir Barat yang sibuk menimbulkan keraguan dalam semua perkara yang sudah diterima dengan jelas di tengah kaum Muslim. Kemudian orientalis dalam cara ini diikuti oleh pengekor-pengekor mereka di antara anak-anak kaum Muslim, sehingga mereka menjadi meragukan sistem pemerintahan Islam, jihad, dan keimanan kepada al-Qadha’ wa al-Qdar … dan sebagainya. Hal itu untuk melemahkan kepercayaan kaum Muslim kepada agama mereka dan upaya memalingkan kaum Muslim dari Islam dan mengalihkan kaum Muslim dari merujuk kepada Islam setelah mereka menghancurkan negara kaum Muslim dan menjauhkan hukum-hukumnya dari penerapannya di tengah kehidupan kaum Muslim.

4- Atas dasar itu, ucapan seputar malam Lailatul Qadar itu bukanlah pembahasan ilmiah yang serius atau pendapat dan ijtihad syar’iy yang muktabar, tetapi itu merupakan jenis dari mereka-reka yang dilarang, mempermainkan nas-nas syar’iyah dan mengolok-olok hadis-hadis nabawi … Oleh karena itu, pendapat itu tidak layak untuk dibantah karena kosong dari syarat paling rendah pembahasan ilmiah yang jujur. Andai Anda tidak mengirimkan pertanyaan kepada kami seputar hal itu niscaya kami tidak membahasnya.

 

Kedua: dalil-dalil dari al-Quran atas Lailatul Qadar:

Penulis itu membuat pembaca mengkhayalkan bahwa dia mengambil apa yang dibawa oleh al-Quran al-Karim dan bersandar padanya, dan dia hanya menyatakan hadis yang ada tentang Lailatul Qadar. Dia mengatakan: “adapun Lailatul Qadar ini maka hanya terjadi dalam sejarah satu kali dan tidak berulang. Dia bersandar Qadarnya -yakni posisinya yang istimewa- dari turunnya al-Quran di dalamnya. Allah berfirman:

﴿إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan” (TQS al-Qadar [97]: 1).

Seolah-olah dia menyarankan untuk bersandar dan merujuk kepada al-Quran al-Karim saja, tetapi pada hakikatnya tidak demikian …

Dia menyebutkan ayat yang mulia:

﴿إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan” (TQS al-Qadar [97]: 1).

Dan dia menafsirkannya sesuai keinginannya dengan penafsiran yang mendukung pendapatnya. Tetapi dia tidak menyebutkan semua nas qur’ani yang menunjukkan yang berbeda dengan pendapatnya … Dinyatakan nas al-Quran tentang Lailatul Qadar di dua tempat al-Quran al-Karim, dan dengan memahami keduanya bahwa Lailatul Qadar itu adalah malam yang berulang-ulang:

1- Surat al-Qadar:

﴿إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ * تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ * سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. (*) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (*) Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (*) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (*) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (*)” (TQS al-Qadar [97]: 1-5).

Dan dengan mentadaburi surat ini menjadi jelas bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang di dalamnya diturunkan al-Quran al-Karim, dan bahwa dia bukanlah malam yang telah berlalu dan terputus tetapi merupakan malam yang berulang dengan karunia-Nya dan kebaikan yang ada di dalamnya. Sebelum menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan hal itu dari surat tersebut, kami sampaikan tafsir singkat untuk surat tersebut dari Tafsîr an-Nasafî:

[Tafsîr an-Nasafî (4/44 dengan penomoran asy-Syamilah otomatis):

….

﴿إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan” (TQS al-Qadar [97]: 1).

Al-Quran membuat malam itu agung yang mana diturunkannya al-Quran disandarkan kepada malam itu tanpa yang lain. Di disebutkan dhamîr (kata ganti)nya tanpa disebutkan namanya yang zhahir karena tidak memerlukan peringatan atasnya dan untuk meninggikan kadar waktu yang di dalamnya al-Quran diturunkan. Diriwayatkan bahwa al-Quran itu diturunkan sekaligus pada malam Lailatul Qadar dari al-Lauh al-Mahfuzh ke langit dunia, kemudian Jibril menurunkan al-Quran kepada Rasulullaah saw dalam waktu dua puluh tiga tahun. Dan makna Lailatul Qadar adalah malam penetapan dan keputusan perkara-perkara (laylatu taqdîr al-umûr wa qadhâ`ihâ) …

Dan boleh jadi alasan disembunyikannya Lailatul Qadar agar orang yang menginginkannya menghidupkan banyak malam untuk mencari kesesuaiannya. Dan ini seperti disembunyikannya shalat al-Wusthâ, nama-Nya yang agung dan waktu dikabulkannya doa pada hari Jumat … Dan di dalam hadis:

«مَنْ أَدْرَكَهَا يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي».

“Siapa yang menjumpai Lailatul Qadar hendaklah dia mengatakan: “ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Memaafkan Engkau mencintai permintaan maaf maka maafkanlah aku”.

﴿وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ القدر

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (TQS al-Qadar [97]: 2)

Yakni pengetahuanmu tidak sampai ujung keutamaannya …], selesai kutipan dari Tafsîr an-Nasafî.

Dan surat tersebut mengandung lebih dari satu hal yang menjelaskan bahwa malam Lailatul Qadar itu adalah malam yang berulang yang bertepatan dengan malam yang penuh keberkahan yang di dalamnya diturunkan al-Quran. Dan cukup dalam hal itu firman Allah SWT:

﴿تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ * سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” (TQS al-Qadar [97]: 4).

Jadi para malaikat turun di malam ini dan Jibril as bersama mereka. Al-Quran menggunakan lafal al-mudhâri’ dalam kalimat verbal (jumlah fi’liyah):

﴿تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat” (TQS al-Qadar [97]: 4).

Hal itu untuk menunjukkan keberlanjutan dan kebaruan. Dan sebaliknya tidak digunakan lafal lampau (al-mâdhiy) yang menunjukkan telah berakhir. Ini bermakna dengan sangat jelas bahwa Lailatul Qadar itu berulang dan para malaikat pada setiap tahun di malam itu turun dan Jibril as bersama mereka.

2- Firman Allah SWT di awal surat ad-Dukhan:

﴿إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (TQS ad-Dukhan [44]: 3-4).

Dinyatakan di Tafsîr an-Nasafî (3/303): [ …. dan Lailatul Qadar pada kebayakan pendapat ada di bulan Ramadhan. Kemudian mereka mengatakan: al-Quran diturunkan sekaligus dari al-Lauh al-Mahfûzh ke langit dunia kemudian diturunkan oleh Jibril as pada waktu terjadi keperluan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. Dan dikatakan: awal turunnya pada malam Lailatul Qadar. Dan al-mubârakah adalah al-katsîr al-khayr (banyak kebaikan) karena pada malam itu diturunkan kebaikan dan keberkahan dan orang yang berdoa diijabah. Seandainya yang ada hanya turunnya al-Quran saja niscaya keberkahan telah mencukupi.

﴿إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ

“Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (TQS ad-Dukhan [44]: 3-4).

Ini merupakan dua kalimat lanjutan yang dibungkus yang dengan keduanya ditafsirkan jawab sumpah, seolah-olah dikatakan: “kami telah menurunkannya karena di antara urusan kami adalah memberi peringatan dan memperingatkan dari sanksi. Dan penurunan kami kepadanya di malam ini adalah secara khusus, sebab penurunan al-Quran termasuk perkara penuh hikmah dan malam ini dijelaskan semua perkara yang penuh hikmah”. Dan makna “yufraqu” adalah yufshalu (dijelaskan) dan ditulis semua perkara berupa rizki para hamba, ajal mereka dan semua perkara mereka dari malam ini sampai Lailatul Qadar yang datang di tahun berikutnya, “hakîm” yakni yang penuh hikmah yakni obyek yang diharuskan oleh hikmah, dan itu termasuk penyandaran secara majazi (al-isnâd al-majâzî) sebab al-Hakîm adalah sifat pemilik urusan secara hakikat dan penyifatan perkara itu dengannya adalah secara majaz …], selesai.

Jelas dari ayat-ayat ini bahwa Lailatul Qadar yang di dalamnya al-Quran diturunkan adalah malam yang berulang. Dan cukup dalam menunjukkan hal itu adalah firman Allah SWT:

﴿فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (TQS ad-Dukhan [44]: 4).

Ini menunjukkan tanpa keraguan bahwa malam ini di dalamnya segala urusan yang penuh hikmah dijelaskan secara berulang dikarenakan al-Quran menggunakan lafal “fîhâ yufraqu” dan itu adalah mudhâri’ yang menunjukkan keberlanjutan dan kebaruan.

3- Begitulah, dapat dipahami dari al-Quran dengan jelas bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang penuh berkah yang di dalamnya diturunkan al-Quran, dan bahwa itu merupakan satu malam dari malam-malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. Dan di dalamnya para malaikat dan Jibril as. turun, dengan izin Rabb mereka semua urusan yang mana di dalamnya semua urusan yang penuh hikmah dijelaskan sebagai perintah dari sisi Allah, dan bahwa malam ini di dalamnya ada keutamaan yang agung sebab keutamaan amal saleh di dalamnya memiliki keutamaan amal seribu bulan … Dan dengan ini tampak jelas bahwa al-Quran al-Karim menetapkan bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang berulang dan bahwa hadis-hadis nabawi yang mulia yang dinyatakan tentang Lailatul Qadar tidak lain datang menegaskan dan menetapkan apa yang ada di dalam al-Quran al-Karim sebagaimana dijelaskan di bawah. Maka jika si pemilik pembahasan yang dikutip di atas mengakui al-Quran al-Karim dan apa yang ada di dalamnya, maka tidak ada ruang baginya untuk menolak hadis-hadis yang mulia itu.

Ketiga: penunjukan as-sunnah al-muthahharah atas Lailatul Qadar:

1- Telah datang banyak hadis di dalam as-Sunnah an-Nabawiyah yang mengatakan malam Lailatul Qadar adalah malam yang berulang dan diperbarui. Kami sebutkan sebagian darinya dua hadis yang cukup untuk menunjukkan apa yang diminta:

a- Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Shahîhnya dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw, beliau bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Siapa saja yang menegakkan malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan ridha Allah maka diampuni untuknya dosanya yang telah lalu dan siapa yang berpuasa Ramadhan karena dasar iman dan untuk mengharap ridha Allah maka diampuni untuknya dosanya yang telah lalu”.

Di dalam riwayat yang lain menurut imam al-Bukhari dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Siapa saja yang menegakkan malam Lailatul Qadar karena dasar iman dan mengharap ridha Allah maka diampuni untuknya dosanya yang telah lalu”.

Hadis ini selaras dengan apa yang disebutkan di dalam al-Quran al-Karim seputar Lailatul Qadar, dan jelas darinya bahwa Lailatul Qadar itu berulang dan diperbarui.

b- Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan di Sunannya dari Aisyah, ia berkata:

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا؟ قَالَ: «قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي»

“Aku katakan: “ya Rasulullah, bagaimana pandanganmu jika aku mengetahui yakni Lailatul Qadar apa yang aku katakan padanya?” Beliau bersabda: “katakan “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia Engkau menyukai pemaafan maka maafkanlah aku”.

Abu Isa berkata: “ini hadis hasan shahih”. Dan dalam riwayat yang lain untuk hadis tersebut menurut imam Ibnu Majah dan yang lainnya dari aisyah, bahwa ia berkata:

يَا رَسُول اللَّهِ ﷺ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو؟ قَالَ: «تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي»

“Ya Rasulullah saw bagaimana pandanganmu jika aku mendapati malam Lailatul Qadar apa yang aku minta dalam doa?” Beliau bersabda: “engkau katakan, “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia Engkau menyukai pemaafan maka maafkanlah aku”.

Hadis ini juga selaras persis dengan apa yang ada di dalam al-Quran al-Karim seputar Lailatul Qadar, dan jelas darinya bahwa Lailatul Qadar itu berulang dan diperbarui. Demikian, hadis tersebut dipahami aspeknya maka kita diperintahkan untuk mengikuti as-Sunnah sebagaimana kita diperintahkan untuk mengikuti al-Kitab:

﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (TQS al-Hasyr [59]: 7).

 

2- Kemudian, penolakan hadis tidak terjadi berdasar keinginan seseorang atau karena kebodohannya dari memahami maknanya, atau karena keperluan pendengki pada dirinya … dan sebagainya. Sebaliknya, hadis tersebut ditolak dengan jalan yang datang di ilmu hadis dan ushul fikih dan itu dijelaskan pada babnya untuk setiap orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya:

Sesungguhnya hadis itu ditolak secara riwayat dan ditolak secara dirayah …. Dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah juz iii seputar topik ini sebagai berikut:

[Syarat-syarat penerimaan khabar ahad.

Khabar ahad diterima jika terpenuhi syarat-syaratnya secara riwayat dan dirayah. Adapun syarat penerimaannya secara riwayat adalah perawi hadis itu seorang muslim, baligh, berakal, adil, jujur, akurat terhadap apa yang dia dengar, mengingatnya sejak waktu dia mendapatkannya sampai waktu dia menunaikannya. Para ulama ushul dan mushthalah hadis telah menjelaskan syarat-syarat riwayat secara rinci, dan menjelaskan sejarah para tokoh hadis dan perawi mereka, setiap perawi dan sifat-sifat yang terpenuhi pada dirinya secara rinci.

Adapun syarat-syarat penerimaan khabar ahad secara dirayah adalah tidak bertentangan dengan apa yang lebih kuat berupa ayat atau hadis mutawatir atau masyhur … Walhasil, khabar ahad jika bertentangan dengan ayat al-Quran atau hadis mutawatir atau hadis masyhur atau ‘illat yang dinyatakan secara gamblang (sharâhah) oleh al-Quran, hadis mutawatir atau masyhur maka hadis tersebut tidak diterima secara dirayah. Dan jika tidak bertentangan dengan yang begitu maka diterima. Andai hadis itu bertentangan dengan qiyas maka hadis tersebut diterima dan qiyas ditolak], selesai.

Maka jika kepada seseorang disodorkan satu hadis yang tidak dia ketahui apakah dia mengambilnya atau menolaknya, maka hendaklah dia bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahui. Rasul saw bersabda:

«أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ» أخرجه أبو داود

“Tidakkah mereka bertanya jika mereka tidak mengetahui, sebab sesungguhnya obat orang yang tidak tahu adalah bertanya” (HR Abu Dawud).

Begitulah yang dilakukan oleh orang berakal yang takut kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan malah menikam hadis atau memperolok-oloknya, dan jika tidak maka dengan itu ia berdosa besar. Dan di sini akan saya sampaikan satu hadis sebagai contoh atas hal itu yang mana pemilik ucapan itu menikam hadis atau mengolok-oloknya, dan berikutnya posisi yang buruk yang layak diduduki oleh pemilik ucapan itu:

Pemilik ucapan itu mengolok-olok hadis yang diriwayatkan pleh imam Muslim di dalam Shahîhnya seputar malam Lailatul Qadar dan bahwa Nabi saw telah diperlihatkan malam Lailatul Qadar kemudian dibuat melupakannya …. dengan dia mengatakan: [bagaimana Rasul saw melupakannya padahal Allah SWT berfirman:

﴿سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى * إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ

“Kami akan membacakan (al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. kecuali kalau Allah menghendaki” (TQS al-A’la [87]: 6-7).

Dan maknanya, Kami akan membacakan kepadamu maka jangan kamu melupakannya selamanya …]. Sungguh orang ini tidak paham apa yang dia katakan! Ayat tersebut adalah tentang al-Quran al-Karim. Jadi Allah SWT membacakan kepada Rasul saw al-Quran al-Karim lalu beliau menghafalnya dan tidak melupakannya selamanya. Dinyatakan dalam tafsirnya:

a- Tafsîr al-Qurthubî (20/18):

Firman Allah SWT: ﴿سَنُقْرِئُكَ﴾ yakni al-Quran ya Muhammad maka kami ajarkan dia kepadamu ﴿فَلَا تَنْسَى﴾ yakni maka kamu menghafalnya, diriwayatkan oleh Ibnu Wahbin dari Malik.

Dan ini merupakan kabar gembira dari Allah SWT, memberi kabar gembira bahwa Allah memberi Nabi saw ayat-ayat yang jelas, yaitu Jibril membacakannya kepada Beliau berupa wahyu sementara beliau seorang ummiy tidak bisa membaca dan tidak menulis menulis lalu beliau menghafalnya dan tidak melupakannya …

b- Tafsîr ath-Thabarî (24/370):

Firman Allah SWT:

﴿سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى * إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ

“Kami akan membacakan (al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. kecuali kalau Allah menghendaki” (TQS al-A’la [87]: 6-7).

Allah SWT berfirman: kami akan membacakan kepadamu ya Muhammad al-Quran maka jangan kamu melupakannya kecuali kalau Allah menghendaki.

Kemudian para mufassir berbeda pendapat tentang makna firman Allah SWT:

﴿سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى * إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ

“Kami akan membacakan (al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. kecuali kalau Allah menghendaki” (TQS al-A’la [87]: 6-7).

Sebagian dari mereka berkata: ini merupakan berita dari Allah kepada Nabi-Nya saw bahwa Dia mengajarkan al-Quran ini dan beliau menghafalnya, dan melarang beliau dari tergesa-gesa membacanya sebagaimana firman Allah SWT:

﴿لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” (TQS al-Qiyamah [75]: 16-17).

Selesai.

Begitulah pada selain kedua tafsir itu bahwa ayat yang disebutkan itu adalah tentang al-Quran al-Karim. Adapun selain itu maka Allah SWT membuat Rasul-Nya saw melupakan perkara karena hikmah yang Allah ketahui. Teks hadis tersebut sebagaimana di dalam riwayat imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudzri ra., ia berkata: “Rasulullah saw beri’tikaf sepuluh hari pertengahan Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar sebelum dijelaskan kepada beliau. Ketika telah selesai beliau memerintahkan agar kemah itu dibongkar, kemudian dijelaskan untuk beliau bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir maka beliau memerintahkan dibangun kemah maka disiapkanlah kemudian beliau keluar kepada orang-orang dan bersabda:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهَا كَانَتْ أُبِينَتْ لِي لَيْلَةُ الْقَدْرِ وَإِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِهَا فَجَاءَ رَجُلَانِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ الْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ»

“Hai manusia, sungguh telah dijelaskan untukku malam Lailatul Qadar dan aku keluar untuk memberitahu kalian tentangnya, lalu datang dua orang yang bersengketa, setan bersama keduanya, maka aku dibuat melupakan malam Lailatul Qadar, maka carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, carilah pada malam ke-sembilan, ke-tujuh dan ke-lima”.

Aku katakan: ya Abu Sa’id sesungguhnya engkau lebih mengetahui tentang hitungan tersebut daripada kami”. Dia berkata: “benar, kami lebih berhak dengan itu dari kalian”. Dia berkata: “aku katakan, apa yang ke-sembilan (at-tâsi’ah), yang ke-tujuh (as-sâbi’ah) dan yang ke-lima (al-khâmisah)? Dia berkata: “jika telah berlalu dua puluh satu maka malam berikutnya adalah malam keduapuluh dua dan itu at-tâsi’ah, dan jika telah berlalu dua puluh tiga maka malam berikutnya adalah as-sâbi’ah dan jika telah berlalu dua puluh lima maka malam berikutnya adalah al-khâmisah”. Ibnu Khallad mengatakan lafal yahtaqqâni (saling menuntut hak) diganti dengan yahtashimâni (bersengketa).  Dan hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari secara ringkas dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa:

خَرَجَ يُخْبِرُ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ المُسْلِمِينَ فَقَالَ: «إِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، وَإِنَّهُ تَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْراً لَكُمْ، التَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ وَالتِّسْعِ وَالخَمْسِ

Rasulullah saw keluar memberitahukan malam Lailatul Qadar lalu dua orang dari kaum Muslim bertengkar, lalu beliau bersabda: “aku keluar untuk memberitahu kalian malam Lailatul Qadar, dan sesungguhnya Fulan dan Fulan bertengkar, lalu diangkat, dan semoga itu adalah baik untuk kalian, carilah dia (Lailatul Qadar) pada ketujuh, kesembilan dan kelima”.

Dinyatakan di dalam syarah hadis tersebut oleh Ibnu Hajar di Fathu al-Bârî sebagai berikut:

[… Sabda beliau “beliau keluar memberitahukan malam Lailatul Qadar yakni penentuan Lailatul Qadar, sabda beliau “fatalâhâ adalah musytaqq dari at-talâhiy yaitu at-tanâzu’ wa al-mukhâshamah (berselisih dan bersengketa) … Dan sabda beliau “fa rufi’at (maka diangkat) yakni penentuan Lailatul Qadar diangkat dari ingatanku, ini yang muktamad di sini, dan sebabnya adalah apa yang dijelaskan oleh imam Muslim dari hadis Abu Sa’id dalam kisah ini, ia berkata: “lalu datang dua orang yahtaqqâni yakni saling mengklaim dirinya benar/berhak, bersama keduanya setan sehingga aku melupakannya. Qadhi Iyadh berkata: “di dalamnya ada dalil bahwa persengketaan itu tercela dan bahwa itu merupakan sebab dijatuhkannya sanksi maknawiyah yakni al-hirmânu (tidak memperoleh) dan di dalamnya bahwa tempat yang dihadiri oleh setan maka keberkahan dan kebaikan diangkat darinya ] selesai.

Dan dengan menelaah hadis tersebut secara seksama menjadi jelas bahwa Nabi saw tidak mengetahui kapan malam Lailatul Qadar dalam Ramadhan. Maka Rasul saw beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan mencari Lailatul Qadar kemudian beliau memerintahkan untuk membongkar bangunan yang beliau bangun untuk beri’tikaf, kemudian dijelaskan kepada beliau bahwa Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan ketika beliau ingin memberitahu orang-orang waktunya maka ada dua orang dari kaum Muslim berselisih lalu Rasul saw dibuat melupakan waktu Lailatul Qadar dan beliau memerintahkan orang-orang agar mencarinya di sepuluh hari terakhir …. Dan Nabi saw menjelaskan sebab beliau dibuat melupakannya, yaitu perselisihan dua orang tersebut. Di dalam ini ada penjelasan sejauh mana bahaya persengketaan di dalam Islam dan bahwa itu mengharuskan dijatuhkan sanksi sebagaimana yang dijelaskan di dalam syarah hadis tersebut di atas. Demikian juga di dalam perintah tersebut terdapat hikmah yang sesuai dengan sepuluh hari terakhir ketika ada kekurangan tekad, sehingga tidak ditentukannya malam Lailatul Qadar dan dijadikan ada di salah satu malam dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, hal itu mendorong orang untuk bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari terakhir, sehingga dengan itu mereka memperoleh kebaikan umum. An-Nasafi telah bagus dengan ucapannya di dalam tafsirnya: (Barangkali alasan disembunyikannya waktu Lailatul Qadar adalah agar mereka yang menginginkannya menghidupkan malam-malam yang banyak untuk mencari kesesuaian dengan Lailatul Qadar, dan ini seperti disembunyikannya shalat Wustha, Asma-Nya yang agung, dan waktu diijabahnya doa pada hari Jum’at…). Lalu di mana masalah dalam hadits ini bagi penulis artikel untuk membantahnya? Dan mengapa tidak benar Rasulullah saw dibuat melupakan apa yang telah ditunjukkan kepada beliau, jika itu karena hikmah yang mengharuskannya?! Jelas bahwa pemilik teks yang dikutip itu, dia mengabaikan sebab dan hikmah ini sampai dia terus dalam penolakannya dan bantahannya untuk hadis-hadis Lailatul Qadr.

Begitulah, semua hadis tidak ditolak karena hawa nafsu (keinginan) atau karena kebodohan atau kedengkian terhadap Islam dan kaum Muslim, tetapi hadis itu dikaji oleh ahlinya dan menurut aspeknya, kemudian dia bertanya jika dia tidak mengetahui sebagaimana yang ada di dalam hadis Rasulullah saw terdahulu:

«أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ»

“Tidakkah mereka bertanya jika mereka tidak mengetahui, sebab sesungguhnya obat orang yang tidak tahu adalah bertanya”.

Keempat: dan dengan semua ini menjadi jelas bahwa si pemilik teks yang dikutipkan itu tidak memiliki bagian dari pengetahuan nalar, dan tidak memiliki pemahaman dalam ilmu hadis dan ushul, dan dia tidak menimbang perkara dengan timbangan yang benar dan tidak menilai perkara menurut jalan yang lurus. Tetapi tampak dari pandangannya adanya upaya menghancurkan agama dan kejelasannya, dan membuat kaum Muslim ragu-ragu dalam pokok dan cabang agama. Dan jika bukan karena penanya meminta penjelasan tentang perkataannya, niscaya kami tidak akan menyibukkan diri untuk membantah delusinya…. Dan di penutup, sungguh kami memohon kepada Allah SWT agar membalikkan makar orang-orang yang membuat makar dalam kebinasaan mereka dan melindungi umat dari kejahatan-kejahatan mereka serta meninggikan posisi agama, menolong hamba-hamba-Nya yang mukmin, dan memadamkan api orang-orang kafir, orang-orang munafik dan orang-orang yang menimbulkan keraguan.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

8 Ramadhan 1444 H

30 Maret 2023 M

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/87873.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/771240614563310

 

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *