UIY: Peristiwa 10 November, Perang Benturan Pandangan Politik Ideologi

 UIY: Peristiwa 10 November, Perang Benturan Pandangan Politik Ideologi

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengungkapkan peristiwa 10 November 1945 adalah perang yang kental dengan benturan pandangan politik ideologi.

“Perang yang terjadi pada peristiwa 10 November itu bukan perang karena perselisihan perbatasan, bukan karena rebutan sumber daya ekonomi, sumber daya energi atau perselisihan entitas, bukan! Tetapi, suatu perang yang sangat kental dengan perbenturan pandangan politik ideologi,” ungkap UIY dalam dialog yang berjudul Hari Pahlawan Menguak Penguburan dan Pengaburan Sejarah, Ahad (6/11/2022) di YouTube UIY Official.

Menurutnya, hal itu adalah perang antara pihak yang ingin menjajah dan pihak yang menolak untuk dijajah. Ia menegaskan, jadi sangat jelas maksud kedatangan Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) pada waktu itu, beberapa bulan setelah Indonesia merdeka pada Agustus 1945 sekitar September-Oktober adalah usaha Belanda masuk lagi untuk menguasai negeri yang sangat besar potensinya. Menurutnya, Belanda negara kecil sangat terbatas potensi sumber daya alamnya, mereka melihat Nusantara ini luar biasa.

“Belanda itu pertama kali sesungguhnya yang mengetahui di Irian ada emas, Belanda itu sudah masuk lebih dulu ke Irian, tidak hanya masuk Irian bahkan sudah masuk ke hampir seluruh wilayah Nusantara. Ada buku masterpiece berjudul Geologi van Java yang ditulis oleh Van Bemmelen, geolog dari Belanda. Dia menulis itu karena dia memang melakukan survei secara langsung atas kondisi geologi di tanah Jawa khususnya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, geolog Belanda tersebut mengetahui di Irian ada potensi emas yang sangat besar sejak tahun 1935. Baru belakangan 1945 geolog Amerika mengetahuinya. “Itulah kenapa Belanda tidak mau melepaskan Irian. Irian baru masuk wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tahun 1967 dan yang membantu masuknya Irian ke wilayah NKRI adalah Amerika dengan kompensasi diberi kewenangan untuk mengelola tambang emas di Freeport itu. Jadi, intensinya bagi Belanda sangat jelas bahwa dia tidak ingin kehilangan wilayah Nusantara,” jelasnya.

Ia mengatakan, saat NICA datang, Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno yang biasa disapa Bung Karno langsung bertanya ke salah satu ulama, yakni KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU). “Untuk itulah Bung Karno datang ke KH Hasyim Asyhari, menanyakan bagaimana sikap kita? Dijawab KH Hasyim Asyhari, ‘kita lawan’. Nah di dalam agama Islam itu namanya jihad,” tuturnya menambahkan.

Ia mengatakan, respons rakyat Indonesia terhadap usaha Belanda untuk menjajah kembali Indonesia tidak lepas dari peristiwa politik itu dari dimensi agama. Bagi seorang Muslim semua itu terkait agama. Dan itu yang ditekankan oleh KH Hasyim Asyhari di dalam fatwa yang kemudian dikenal dengan fatwa jihad.

Menurut UIY, ada tiga fatwa jihad yang dikeluarkan tanggal 22 Oktober. Pertama, hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi orang Islam yang bisa meskipun orang fakir. Kedua, hukumnya orang yang meninggal melawan NICA serta komplotan Belanda adalah mati syahid. Ketiga, hukumnya orang yang memecah persatuan kita itu wajib dibunuh.

“Karena itu, peristiwa 10 November akhirnya tidak bisa tidak berdimensi agama. Karena, memang di dalam ajaran Islam itu dinamakan jihad difai’ atau jihad defensif. Sebagaimana dikutip dalam surah Al-Baqarah ayat 190,” kata UIY, sembari membacakan ayat yang artinya:

‘Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.’

Ia menambahkan, jihad difai’ itu fardhu ‘ain bagi orang-orang yang tinggal di wilayah yang diserang musuh. Yang itu akan melebar ke penduduk yang lebih luas, jika fardhu ‘ain atau kewajiban mengusir penyerang itu belum bisa ditunaikan artinya penyerangnya belum bisa diusir.

“Jadi peristiwa 10 November itu jelas sekali berkaitan dengan respons umat Islam yang ditujukan melawan penyerang, dan itulah yang menjadi dasar munculnya fatwa jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober setelah para ulama dan kiai se-Jawa Madura berkumpul 21 Oktober di kantor Anshor Nahdatul Ulama yang berpangkal dari fatwa jihadnya KH Hasyim Asyhari itu. Faktanya sekarang peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan dimensi agama itulah yang sering kita katakan sebagai penguburan sejarah,” pungkasnya.[] Rina

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *