ILKI: Upaya Tegakkan Islam Tak Pernah Surut Pasca-Piagam Jakarta Tak Diberlakukan

 ILKI: Upaya Tegakkan Islam Tak Pernah Surut Pasca-Piagam Jakarta Tak Diberlakukan

Mediaumat.id – Direktur Institut Literasi Khilafah dan Indonesia (ILKI) Septian AW mengungkapkan, upaya penegakan Islam sebagai dasar negara tak pernah surut meski Piagam Jakarta yang disepakati sebagai landasan konstitusi di masa BPUPKI dan berlanjut ke PPKI yang juga dibubarkan setelah sidang terakhir pada tanggal 22 Agustus 1945, tak diberlakukan.

“Perjuangan politik untuk penegakan Islam sebagai dasar negara tak kunjung surut setelah (masa) BPUPKI dan PPKI,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Rabu (17/8/2022).

Artinya, meskipun tidak berhasil memenangkan mayoritas dalam Pemilu 1955, partai-partai Islam terus memperjuangkan aspirasi Islam dalam Majelis Konstituante 1956-1959.

Bahkan para politisi yang mewakili kepentingan Islam dalam partai-partai dimaksud, ketika itu pun mengajukan banyak argumen seputar mengapa Islam harus dijadikan dasar negara.

Mengutip buku Indonesia’s Islamic Revolution, hlm. 21, Septian mengatakan, menurut Dr. Kevin W. Fogg, ahli sejarah Asia Tenggara, dengan spesialisasi di bidang komunitas masyarakat Islam dan Indonesia pasca-kolonial, para politisi dimaksud juga berusaha meyakinkan Majelis Konstituante bahwa Islam akan menjadi yang terbaik untuk Indonesia dan membawa kemakmuran negara.

“Dalam kesempatan tersebut sejumlah tokoh Islam seperti Abdoel Kahar Moezakir, Kasman Singodimedjo, M. Natsir, dan M. Isa Ansori menekankan bahwa Islam seharusnya menjadi dasar negara,” lugasnya.

Pasalnya selama ini mereka merasa ditipu oleh hasil politik pada Agustus 1945. Bahkan untuk memenangkan Majelis, lanjut Septian, mereka mengusulkan pentingnya pengaktifan kembali Piagam Jakarta.

Prof. KH. Abdoel Kahar Moezakir, salah satu anggota Komite atau Panitia Sembilan yang turut menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dalam pidatonya di Majelis Konstituante berkata:

Saudara Ketua, akan tetapi apa lacur pada tanggal 18 Agustus 1945? Semua prinsip-prinsip yang baik dan luhur itu oleh PPKI telah diubah, dicoret-coret dan dihapuskan dari mukadimah dan undang-undang dasar. Itulah sebabnya ada orang yang mengatakan bahwa Pancasila itu dikebiri.

Kalau saya, tidak mengatakan demikian. Akan tetapi, Pancasila itu sudah dirusak! Sebab, prinsip-prinsip yang mendatangkan moral yang luhur dengan adanya Pancasila Piagam Jakarta itu telah hilang dari wujud Pancasila, yang tadinya merupakan agreement itu telah dicederai dengan sengaja.

“Sayang, upaya mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara melalui Majelis Konstituante mengalami jalan buntu,” cetusnya.

Akhirnya perdebatan sengit antara kelompok sekularis dengan islamis, mengalami kondisi deadlock yang berdampak disegel langsung oleh Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959.

“Dekrit tersebut merupakan penanda bahwa Majelis Konstituante resmi dibubarkan dan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali,” ujar Septian.

Pembubaran tersebut juga menjadi penanda masa Demokrasi Terpimpin telah dimulai. Saat itu, kata Septian, kekuasaan, keputusan, serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara yakni Soekarno.

Itu berarti, ruang politik untuk menyuarakan Islam sebagai dasar negara mulai tertutup. Ditambah pada tanggal 17 Agustus 1960 Soekarno membubarkan Partai Masyumi.

Apalagi, pasca pemerintahan Soekarno lengser dan memasuki masa orde Baru, pembicaraan tentang Islam politik semakin dipersulit. “Stereotip negatif dan tindakan represif kerap didapatkan oleh para politisi ataupun aktivis gerakan yang lantang menyuarakan penegakan syariat Islam,” ucapnya.

Sekilas BPUPKI

Sekadar diketahui, BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang beranggotakan sekitar 60 tokoh bangsa Indonesia dan beberapa perwakilan Jepang, serta diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (Dr. Radjiman), dibentuk pada 29 April 1945 dalam rangka meyakinkan janji kemerdekaan yang sebelumnya didapatkan dan untuk membahas perumusan dasar negara.

Ialah Perdana Menteri Jepang Koiso Kuniaki, selaku Kepala Pemerintahan Kekaisaran Jepang yang ada di Tokyo, pada 7 September 1944 (18 Ramadhan 1363 H) dalam pidato politiknya, berjanji bahwa wilayah-wilayah di Asia Timur Raya termasuk Nusantara ketika itu, akan diberikan kemerdekaan kelak kemudian hari.

Lebih lanjut, BPUPKI mengadakan sidang sebanyak dua kali. Sidang resmi pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sidang ini membahas tentang dasar negara. Sedangkan sidang kedua berlangsung tanggal 10 sampai 17 Juli 1945 dengan tujuan membahas Rancangan Undang-Undang Dasar.

Namun pada 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk panitia kecil beranggotakan sembilan orang yang diketuai Soekarno (Bung Karno) untuk menemukan titik temu antara dua kelompok (sekularis dan islamis) seputar dasar negara yang sebelumnya belum tercapai kesepakatan.

Lantas disepakatilah sebuah kompromi berupa Piagam Jakarta, yang di alinea keempat, tegas menyebutkan bahwa negara didasarkan atas ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

Sehingga seperti halnya dikatakan oleh Mohammad Yamin, salah satu anggota Panitia Sembilan dari kalangan nasionalis sekuler (sekularis) yang turut merumuskan dan menyetujui dasar negara Indonesia tersebut, menyebutnya sebagai Jakarta Charter is a gentleman’s agreement.

Namun, lanjut Septian, implikasi Piagam Jakarta terhadap hubungan antara Islam dan negara menjadi sumber polemik sengit setelahnya.

Di antaranya kekecewaan pada sebagian ulama yang tergabung di sana. “Ki Bagus Hadikusumo, tidak menyetujui rumusan tersebut. Ia menyarankan agar kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’ dihilangkan,” sebut Septian.

Pun demikian terkait hambatan mewujudkan aspirasi politik Islam di Indonesia yang kembali terjadi. “Pada 18 Agustus 1945, atau satu hari setelah Proklamasi, sebuah panitia kecil yang dikenal dengan PPKI di bawah pimpinan Soekarno dan Hatta memutuskan penghapusan tujuh kata ‘dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta,” bebernya.

“Ketujuh kata tersebut dihapus dengan dalih adanya keberatan golongan Protestan dan Katolik yang menganggap itu diskriminatif terhadap golongan minoritas,” sambungnya.

Tak ayal, kata Septian, rancangan konstitusi yang disusun BPUPKI dalam hal ini Piagam Jakarta, menjadi sia-sia karena memang tidak pernah diberlakukan.

“Indonesia merdeka sesungguhnya menjadi negara sekuler yang di dalamnya tidak ada persoalan mengenai pelaksanaan syariat Islam,” tandasnya.

Artinya, kompromi atau kesepakatan politik yang dikenal sebagai Piagam Jakarta gagal ditetapkan menjadi landasan konstitusi hanya dalam satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan dilakukan.

Yang maknanya pula, kegagalan ini semakin menjauhkan Islam dalam urusan politik, sekaligus menunjukkan bertambah lemahnya politik Islam Indonesia pada saat itu.

Hikmah

Dengan demikian, menurut Septian, banyak hikmah bisa diambil dari perjalanan ‘ijtihad politik’ kompromistik yang dilakukan oleh para ulama dan tokoh Islam pada masa lalu.

Di samping itu, kesungguhan dan kegigihan para ulama dan tokoh Islam masa lalu dalam menegakkan politik Islam di Indonesia pun harus menjadi teladan bagi Muslim Indonesia kontemporer.

Sebabnya, cita-cita penegakan syariat Islam adalah warisan sejarah Indonesia yang faktual atau pernah terjadi, tidak mengada-ada dan perlu dilestarikan sebagai perjuangan yang berkelanjutan.

Di sisi lain, ia juga menuturkan perlunya mengambil pelajaran bahwa berkompromi dengan kalangan sekularis sama sekali tidak pernah menguntungkan kepentingan Islam.

“Berkali-kali pengkhianatan politik terjadi,” timpalnya.

Dengan kata lain, dalam konteks dinamika kontemporer, justru kecenderungan para politisi sekuler hanya memanfaatkan umat Islam sebagai tangga kekuasaan dalam peristiwa berkala seperti pemilu.

Namun setelahnya, kata Septian, tentu saja aspirasi politik umat bakal dilupakan.

Oleh karena itu umat Islam perlu mempertegas batasan perbedaan politik mereka, dalam hal ini agenda politik sendiri yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia, dengan kalangan sekularis.

Terlepas dari itu ia juga mengimbau, indikator keberhasilan politik Islam bukanlah sukses bersama dengan sekularisme ataupun mengkompromikan kepentingan politik dramatis, tetapi tegaknya hukum Islam di Indonesia.

Sehingga sebagaimana suatu kondisi yang dulu pernah terjadi di masa kesultanan-kesultanan Nusantara, perjuangan untuk mencapai itu masih belum selesai. “Sesungguhnya perjuangan ini belum selesai dan masih berkelanjutan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *