Siyasah Institute: Indonesia Digiring Menuju Islamofobia

 Siyasah Institute: Indonesia Digiring Menuju Islamofobia

Mediaumat.id – Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menuturkan, saat ini Indonesia tengah digiring menuju Islamofobia sebagaimana yang terjadi di Eropa atau di AS. “Disadari atau tidak, Indonesia tengah digiring menuju fobia pada Islam, seperti yang terjadi di Eropa atau di AS,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (3/2/2022).

Iwan mengungkap, meski sering dibantah pemerintah, tapi itu sudah terjadi. Berbagai pendapat dan simbol keislaman di tanah air seperti bendera tauhid, cadar, jenggot, menjadi sasaran serangan. “Sampai-sampai banyak Muslimah yang tidak leluasa lagi mengenakan cadar,” ujarnya.

Selain itu, kata Iwan, warga juga dibuat berpikir ulang soal masjid dan ponpes, karena BNPT nyatakan ada ratusan masjid maupun ponpes terpapar radikalisme.

“Pernyataan BNPT bahwa ada ratusan masjid dan pondok pesantren terpapar radikalisme menunjukkan Islam terus menjadi sasaran kebijakan politik dan keamanan. Ketika banyak pihak marah dan meminta klarifikasi kajian ilmiah dan masjid serta ponpes mana saja yang dimaksud, belum ada tanggapan resmi dari BNPT,” bebernya.

“Sama seperti ketika BNPT menyebut rohis di sekolah-sekolah menengah atas sebagai sarang teroris, tak juga ada klarifikasi yang memadai riset ilmiahnya. Namun pernyataan itu berhasil membuat banyak sekolah dan orang tua takut dan mewaspadai aktivitas kerohanian Islam di sekolah. Ketakutan itu terus sampai hari ini,” tambahnya.

Bukan hanya itu, menurut Iwan, pemerintah dan aparat juga menggerakkan masyarakat untuk melawan radikalisme hingga ke pedesaan. “Hal ini berdampak pada konflik horizontal dan persekusi oleh warga terhadap kelompok warga yang lain, dengan alasan melawan radikalisme dan ujaran kebencian pada negara,” paparnya.

Dukungan Pendengung

Selain pemerintah, opini islamofobia menurut Iwan, juga dilakukan pendengung (buzzer) di media sosial. “Belakangan di medsos, para buzzer juga memainkan narasi bahaya sekolah-sekolah Islam terpadu (SD/SMP/SMA IT). Mereka menuduh bahwa sekolah-sekolah Islam Terpadu membawa ideologi asing yang disebarkan kelompok-kelompok Islam radikal untuk mencuci otak para siswa,” ungkapnya.

Padahal radikalisme, menurutnya, juga sesuatu yang abu-abu. Sering yang dimaksud adalah kelompok yang pro-khilafah, intoleran, kerap menyebar ujaran kebencian dan anti pemerintah. Definisi seperti ini tidak jelas bahkan cenderung politis.

“Soal khilafah, pihak MUI sudah menyatakan hal itu adalah bagian dari Islam dan diminta tidak ada yang mengkriminalisasinya,” tegasnya.

Iwan menyebut, soal intoleran juga tidak ada batasan yang jelas; sering kali sikap intoleran disebut sebagai awal dari kemunculan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Namun batasan sikap intoleran itu sering dikaitkan dengan sikap menolak paham pluralisme, anti LGBT, dan meyakini Islam sebagai ajaran yang benar.

“Soal ujaran kebencian dan anti pemerintah cenderung subyektif dan politis, tapi sering dijadikan tudingan radikal. Pasalnya banyak ujaran kebencian terhadap Islam dan tokoh Islam tapi tak kunjung kena jerat hukum. Dengan ini, pemerintah menargetkan dua sasaran; mengeliminasi ajaran Islam di tengah rakyat, sekaligus meredam kritik terhadap ketidakbecusan pemerintah,” tandasnya.

Melihat dari seluruh kebijakan kontra radikalisme, Iwan menilai, Indonesia sebenarnya mengikuti jejak negara-negara Barat menciptakan islamfobia.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *