Benang Merah Penangkapan Aktivis dan Ulama, Semua Kontra Pemerintah

Mediaumat.id – Dari semua penangkapan aktivis dan ulama, ada sebuah benang merah yang bisa ditarik, semua yang ditangkap adalah aktivis dan ulama yang kontra pemerintah. Mereka yang tidak sependapat, mengkritik dan mengoreksi penguasa. Demikian diungkap Aziz Yanuar, ahli dan praktisi hukum, dalam Diskusi Online Media Umat, HBS Ditahan: Ketidakadilan Hukum Makin Nyata? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (09/01/2022).
“Kalau persoalan hukum harus ada asasnya seperti equality before the law, sekarang ini tidak ada itu,” jelasnya.
Aziz juga memberikan data yang dia peroleh, tercatat dari tahun 2014 hingga 2022 ada 57 kasus yang dilaporkan atas kasus penistaan agama dan penghinaan agama. Yang dilaporkan itu adalah orang-orang pro pemerintah, namun yang diproses bisa dihitung jari.
“Kemudian dari pihak oposisi yang dilaporkan datanya itu ada 71 sampai kasus Habib Bahar kemarin, dan beliau juga dilaporkan juga dengan kasus yang berbeda di Jakarta. Dan luar biasa hampir semuanya dibui ditersangkakan, dipenjara,” ungkapnya.
Berbicara ketidakadilan, hal itu terjadi nyata dalam penegakan hukum di Indonesia. Jika tidak ingin dikatakan rezim ini melakukan kriminalisasi dan ketidakadilan hukum maka rezim harusnya konsisten menegakkan hukum, tanpa pandang bulu, mana kawan, mana lawan. “Namun itu tidak terjadi,” tegasnya.
“Menurut saya kita ini abu-abu, mau tegas juga enggak, mau demokrasi juga enggak, akhirnya ini abu-abu yang melukai rasa keadilan dan juga membuat kezaliman ini diduga merajalela,” tegas Aziz.
Lalu, permasalahan selanjutnya adalah cara penegakan hukum yang salah, rata-rata aktivis atau ulama yang diproses hukum selalu diawali dengan trial by press atau penyebaran opini melalui media yang belum pasti benar faktanya.
“Ini penegakan hukum yang melawan criminal justice yang memang disepakati oleh Republik Indonesia yang telah disetujui oleh UU. Dan juga terkait dengan penyampaian yang cenderung menghakimi tersangka sendiri,” kata Aziz.
Fakta adanya trial by press ini adalah fakta yang miris dalam penegakan hukum di Indonesia, padahal negara yang mengklaim negara hukum seharusnya berhati-hati dalam menegakkan hukum, bisa jadi jika cara ini terus dilakukan maka pengadilan tidak bisa independen lagi dalam memutuskan perkara.
“Kita harus hati-hati dalam penegakan hukum, ini sangat miris, dan pengadilan nanti tidak independen lagi kalau sudah ada trial by press, memutuskan di luar yang beredar maka diduga akan banyak tekanan. Dan nanti tidak akan sejalan. Dan opini itu menjadi pembenaran, padahal belum benar, kan harus dibuktikan di pengadilan bukan di opini umum,” ucap Aziz.
Sangat Cepat
Aziz menceritakan kasus terakhir yang menimpa Habib Bahar bin Smith sangat cepat dan menjadi dugaan bahwa ketidakadilan hukum itu terjadi.
Aziz mendampingi Habib Bahar dalam proses hukumnya. diketahui pada 28 Desember 2021 Habib Bahar menerima surat SPDP, tertanggal 28 Desember, namun kalau tidak salah datangnya itu 29 Desember 2021.
Di SPDP itu tertulis bahwa ini terkait dengan adanya laporan polisi yang dilaporkan di Polda Metro Jaya 17 Desember 2021 atas nama pelapor Tubagus Nurul Alam. Kemudian ada pelimpahan ke Polda Jawa Barat pada 23 Desember 2021.
“Ada apa sebenarnya di dalam video tersebut, terkait ceramah beliau setelah keluar dari Gunung Sindur. Dan Habib Bahar menjawab ceramahnya itu adalah 11 Desember, di Margaasih di Kabupaten Bandung. Sangat marathon dalam waktu 2 minggu ada ancang-ancang untuk memanggil. Cepat,” jelas Aziz.
Habib Bahar dilaporkan pasal 28 ayat junto ayat 2 pasal 25 juncto ayat 5 dugaan informasi yang menyebarkan rasa permusuhan atau rasa benci dan kepada kelompok berdasarkan SARA. Dan juga UU ITE, ada juga pasal hukum pidana berita bohong.
“Setelah pemeriksaan hari itu langsung jadi tersangka, lalu penangkapan, langsung ada surat penahanan, lalu ada BAP tersangka, dan diperiksa hari Rabu. Sangat cepat,” pungkas Aziz.[] Fatih Solahuddin