Emas di Sangihe Milik Rakyat, Harusnya Dikelola oleh Negara untuk Rakyat

Oleh: Achmad Fathoni (Direktur HRC)
Berkaitan dengan kisruh pengelolaan Blok Emas di Pulau Sangihe, pemerintah diminta masyarakat melakukan evaluasi terkait izin tambang emas Sangihe, Sulawesi Utara. Tambang emas tersebut saat ini dikelola oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Pemerintah diminta banyak pihak untuk menghentikan kegiatan pertambangan PT TMS didasarkan atas Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani oleh pemerintah dan perusahaan tersebut pada tahun 1997 lalu.
Sebagaimana diberitakan di banyak media, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara telah menerbitkan Izin Lingkungan untuk PT TMS pada tanggal 15 September 2020 dimana dalam Izin Lingkungan dimaksud disebutkan bahwa lokasi yang akan digunakan PT TMS untuk melakukan kegiatan pertambangan hanya seluas 65,48 Ha dari total luas wilayah sebesar 42.000 Ha.
Meninjau permasalahan ini, perlu kita ketahui bahwa kekayaan alam termasuk tambang emas di blok Sangihe, blok emas di Papua, tambang – tambang Migas, dan sebagainya merupakan pemberian Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai sarana memenuhi kebutuhannya agar dapat hidup sejahtera dan makmur serta jauh dari kemiskinan. Allah SWT berfirman:
] هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا … (٢٩) [
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:29)
Dengan demikian, Tambang emas Sangihe bagian dari Sumber Daya Alam (SDA) yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan semua manusia dan penunjang kehidupan mereka di dunia ini sebagai kebaikan untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka mengabdi dan menjalankan perintah Allah SWT.
Lalu siapakah yang seharusnya mengelola tambang emas Sangihe dan tambang emas di Papua yang merupakan SDA Indonesia yang melimpah ruah? Dalam pandangan Islam, kekayaan alam seperti tambang Sangihe dan Freeport merupakan harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat harus dikelola oleh negara. Negaralah mewakili rakyat melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport ini serta mengelola hasilnya, Negara bukanlah sebagai pemilik atau yang menguasai kekayaan itu. Semua hasil bersihnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang lain, bisa berupa; pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, listrik, air, transportasi, dan sebagainya.
Keharusan pengelolaan tambang Freeport tersebut, statusnya sama seperti tambang garam yang pernah diberikan kepada kepada sahabat Abyadh bin Hammal. Rasulullah saw pada waktu itu sebagai hâkim (kepala Negara) mengambil kebijakan untuk memberikan tambang kepada Abyadh bin Hammal al-Muzani. Namun kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah saw setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir terus menerus.
Pada kebijakan Rasulullah saw tersebut, berarti negaralah sebagai pengelola terhadap kekayaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup masyarakat, pada sisi lain, individu diperbolehkan menguasai kekayaan sumber daya alam (area tambang) jika luas dan depositnya sedikit, dan hasil eksploitasinya dikenakan khumus atau seperlimanya untuk kas Bait al-Mâl sebagai bagian pemasukan dari harta fai.
Sementara kekayaan alam atau barang tambang seperti Freeport yang jumlahnya melimpah ruah dan tidak terbatas laksana air mengalir, maka individu maupun swasta baik perorangan maupun perusahaan dilarang menguasainya sebab tambang tersebut termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat, harus dikelola oleh Negara sedangkan hasil pengelolaannya dimasukkan dalam kas Bait al-Mâl, selanjutnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana lain untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka, tentu setelah Negara mengeluarkan semua biaya operasional pengelolaannya.
Sebagai penegasan bahwa tambang adalah milik rakyat dan termasuk kepemikan umum, Rasulullah SAW bersabda :
« الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ : فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ» (رواه أحمد)
“Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (H.R. Ahmad). (Abû Abdullâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad asy-Syaibânî, Musnad Imâm Ahmad, Juz 38, Nomor 23082, (t.tp.: Muassasah ar-Risâlah, 2001), Cet. ke-1, h. 174.)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
« النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَأِ وَالنَّارِ » (رواه أبو عبيد)
Rasûlullâh SAW bersabda: “Orang-orang (Masyarakat) bersekutu dalam hal; air, padang gembalaan dan api” (H.R. Abû ‘Ubaid).
Hadits ini juga menegaskan bahwa yang termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat adalah semua kekayaan alam yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk mengeksploitasinya.
Penyerahan kekayaan alam termasuk tambang ke pihak asing adalah akibat penerapan sistem Kapitalisme di negeri ini. Sesuai dengan doktrin Kapitalisme, negara berwenang menentukan kontrak pemberian konsesi kekayaan alam kepada swasta dan asing. Wewenang itu dilegalkan melalui pembuatan peraturan dan UU. Hal itu sangat dimungkinkan karena penerapan sistem demokrasi memberikan wewenang membuat hukum kepada manusia, yakni pemerintah dan Wakil Rakyat. Karena itu, jika sudah terlanjur ada peraturan dan UU yang menghambat, maka peraturan dan UU itu tinggal diubah saja. Itulah yang terjadi selama ini.
Hal itu tidak akan terjadi jika syariat Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Dalam sistem Islam, Allah I tetapkan kekayaan alam sebagai milik seluruh rakyat. Rezim tidak punya wewenang untuk menyerahkan kekayaan milik rakyat itu kepada swasta apalagi asing. Islam justru mengharuskan rezim mengelola kekayaan alam termasuk tambang secara langsung dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung atau dalam bentuk pelayanan dan fasilitas.
Siapapun tidak bisa mengubah ketentuan hukum ini. Sebab, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah bukan pada rakyat atau manusia. Rakyat atau manusia sama sekali tak punya wewenang untuk membuat aturan dan hukum. Rezim justru berkewajiban menerapkan hukum syariah. Dengan penerapan syariah secara kaffah, maka lobi-lobi Freeport baik tertutup maupun terang-terangan atau penyerahan pengelolaan pertambangan kepada swasta tidak akan pernah terjadi.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ … ٢٤
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…”, (Qs. Al-Anfâl [8] : 24)
Jadi, persoalan sebenarnya bukan pada keahlian, modal dan teknologi buktinya mayoritas karyawan dan pekerjanya orang asli Indonesia, kalau modal dan teknologi toh juga pemerintah biasa berutang dan dapat menjaminkannya, dengan pendapatan yang besar tersebut utang bisa segera dilunasi. Akan tetapi permasalahan utamanya adalah kemauan untuk mengelola secara utuh dan berlepas total dari cengkeraman asing penjajah.[]