Dari Rp 56,7 T yang Dikorupsi hanya Kembali Rp 8,9 T, Ada Ketidakberesan Sistem

 Dari Rp 56,7 T yang Dikorupsi hanya Kembali Rp 8,9 T, Ada Ketidakberesan Sistem

Mediaumat.news – Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut ‘dari Rp 56,7 triliun kerugian negara atas kasus korupsi pada 2020, uang yang kembali ke negara dari koruptor hanya Rp 8,9 triliun’ dinilai sebagai bukti ada ketidakberesan dari sistem yang berlaku.

“Jelas ada ketidakberesan dalam sistem yang berlaku, terutama sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujar Luthfi Affandi dari Indonesian Justice Monitor (IJM) kepada Mediaumat.news pada Selasa (24/3/2021).

Itu artinya, kerugian uang negara akibat korupsi yang belum dikembalikan ke negara sekitar Rp47,8 triliun masih raib. Ke mana raibnya? Luthfi menduga masih ada di para pelaku korupsi.

Bila benar seperti itu, lanjut Luthfi, tentu saja membuat para koruptor tidak takut mengambil uang negara. Karena praktiknya, walaupun mereka divonis tahunan penjara, selesai masa hukuman, harta mereka masih sangat berlimpah, mereka masih kaya raya karena harta yang dikembalikan ke negara, tidak sebanding dengan uang yang mereka korupsi.

Uang pengganti dari koruptor yang hanya Rp8,9 triliun tersebut juga, menurut Luthfi, sebenarnya masih belum dipegang oleh negara, melainkan masih berupa vonis hakim melalui vonis pidana tambahan yang diatur dalam pasal 18, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Jadi belum bisa dikatakan benar-benar kembali kepada negara,” tegasnya.

Ia menilai akar masalah korupsi di Indonesia terletak pada sistem politik yang diterapkan. “Sistem politik demokrasi inilah yang menumbuhsuburkan praktek korupsi. Kita tahu, untuk menjadi pejabat di Indonesia pasti mengeluarkan uang yang tidak sedikit, baik untuk menjadi anggota legislatif, bupati atau wali kota, gubernur, apalagi selevel presiden. Uang yang sudah mereka keluarkan akan mereka kembalikan dengan jalan korupsi. Bahkan fakta yang terjadi, uang yang mereka korupsi jauh lebih besar dari pada ongkos politik yang mereka keluarkan,” jelas Luthfi.

Selain itu, sistem pemberantasan korupsi juga masih jauh panggang dari api, sistemnya tidak menimbulkan efek jera. “Vonis hakim berupa pidana penjara dan pengembalian uang pengganti tidak sebanding dengan uang yang dikorupsi,” kata Luthfi.

Lutfhi juga membandingkan sistem pemberantasan korupsi saat ini dengan sistem Islam terkait penanganan korupsi. Dalam Islam, ada mekanisme disebut pembuktian terbalik. Contoh yang termasyhur seperti yang dipraktikan pada masa Khalifah Umar Bin Khattab RA.

“Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitul mal, atau membagi dua kekayaan itu separuh untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara itulah yang disebut sebagai pembuktian terbalik yang terbukti lebih efektif mencegah aparat berbuat curang,” jelasnya.

Adapun di dalam sistem Islam, sanksi terhadap pidana korupsi yang paling ringan adalah dikenai hukuman ta’zir berupa penyitaan harta dan hukuman kurungan, ditambah diarak keliling kota.

“Sanksi seperti inilah yang akan menimbulkan efek jera sehingga akan menekan tindak pidana korupsi,” pungkas Luthfi.[] Fatih Solahuddin

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *