165 Komisaris BUMN Dijatah Kader, Ahmad Sastra: Rugikan Negara dan Rakyat

MediaUmat – Didudukinya 165 dari 562 kursi komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) oleh kader partai dan relawan politik sebagaimana diungkap Transparency International Indonesia (TII) baru-baru ini, dinilai Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra sangat merugikan negara dan masyarakat.
“Hal seperti ini jelas merugikan negara dan masyarakat,” ujarnya kepada media-umat.com, Selasa (7/10/2025).
Pasalnya, menurut Ahmad, temuan ini mengindikasikan posisi pengawas perusahaan negara masih kental dengan logika patronase politik, sebuah kondisi yang berisiko melemahkan independensi pengawasan, meningkatkan konflik kepentingan, dan menurunkan profesionalisme dalam pengambilan keputusan korporat.
Ahmad melihat, realitas di lapangan menunjukkan banyak jabatan penting justru dipegang oleh individu yang tidak memiliki kompetensi sesuai bidangnya, sehingga menimbulkan ketimpangan antara tugas dan kemampuan.
“Fenomena ini terlihat dari berbagai kasus penunjukan tokoh publik, seperti artis yang menduduki posisi sebagai wakil rakyat di komisi yang membidangi sumber daya alam, atau musisi yang ditunjuk menjadi komisaris perusahaan telekomunikasi tanpa latar belakang teknis maupun manajerial yang relevan,” ujar Ahmad.
Ahmad membeberkan, praktik semacam ini mencerminkan lemahnya sistem seleksi dan minimnya penghargaan terhadap profesionalisme dalam pengisian jabatan publik. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering tidak berbasis pada kajian ilmiah atau kebutuhan strategis sektor terkait, melainkan lebih didorong oleh pertimbangan politik dan popularitas.
“Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan dan efektivitas lembaga publik karena posisi yang seharusnya diisi oleh ahli justru dijadikan alat politik untuk memperluas jaringan kekuasaan,” sebutnya.
Hal ini, tegas Ahmad, jelas merugikan negara dan masyarakat dalam dua aspek utama. Pertama, jabatan strategis yang dipegang oleh orang yang tidak kompeten menjadi tidak produktif, bahkan berpotensi menimbulkan keputusan keliru yang merugikan lembaga dan publik.
“Ketidaksesuaian antara kapasitas individu dan tanggung jawab jabatan membuat fungsi pengawasan maupun manajerial tidak berjalan efektif, sehingga kinerja lembaga menurun,” sebutnya.
Kedua, jabatan yang diberikan karena kepentingan politik menjadikan posisi tersebut rawan konflik kepentingan dan korupsi. Para pejabat yang memiliki afiliasi politik cenderung memanfaatkan kedudukan mereka untuk kepentingan kelompok atau partai, bukan untuk kepentingan bangsa.
“Fakta di lapangan menunjukkan banyak BUMN mengalami kerugian signifikan meskipun dikelola oleh dewan komisaris dengan gaji sangat besar,” ungkapnya.
Ketimpangan antara kinerja dan imbalan ini, jelas Ahmad, menjadi potret nyata bahwa sistem penempatan pejabat yang berlandaskan kepentingan politik, bukan profesionalisme, telah menciptakan inefisiensi dan pemborosan dalam pengelolaan kekayaan negara.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat